TESIS PENGARUH MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA GURU
(KODE : PASCSARJ-0124) : TESIS PENGARUH MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA GURU (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi pendidikan merupakan salah satu konsekuwensi sebagai akibat bangsa Indonesia tengah menjalani proses tumbuh kembang berbangsa dan bernegara dalam transisi dari sentralistik ke desentralistik. Maka makin menguatnya pemberlakuan otonomi daerah sesuai Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yaitu penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Masalah ini membawa implikasi tersendiri dalam manajemen penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, salah satu pendekatan yang mengakomodasi tuntutan terbaru pengelolaan pendidikan di daerah adalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang ditetapkan melalui Permendiknas Nomor 053/u/2001. Konsep ini bertujuan untuk mendirikan, memberikan otoritas kepada sekolah memberdayakan sekolah, keleluasaan mengembangkan program sekolah, dan mengelola sumber daya dan potensi yang ada di sekolah sehingga akan terwujud sekolah efektif dan bermutu.
Berdasarkan konsep perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan pendidikan politik masyarakat lokal yang memberikan keleluasaan pemerintah melayani public agar lebih efektif , efisien dan ekonomis. Maka Penyelenggaraan Pendidikan khususnya yang menyangkut Sistem Manajemen Sekolah harus pula berubah, sinergis dengan esensi tujuan pendidikan yang ditetapkan UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional memperkenalkan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Disederhanakan menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan memprioritaskan indikator utama yaitu otonomi sekolah. Peningkatan mutu suatu organisasi yang mengadakan perubahan akan membawa organisasi pada situasi yang lain dari sebelumnya. Perubahan yang terjadi dapat diperkuat atau diperlemah dalam kehidupan organisasi, perubahan dalam organisasi ini melibatkan sumber daya manusia yang berperan dalam peningkatan kinerja organisasi (Alford, 1998 : 63). Peran sumber daya manusia pada masa kini akan menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan . Oleh karena itu, amat dibutuhkan pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai asset Pendidikan
Globalisasi pendidikan masa kini diharapkan lebih modern dan profesional sehingga mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat.
Permasalahan dalam peningkatan kualitas pendidikan berkaitan dengan strategi pembangunan pendidikan, yang selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi tersebut didasarkan kepada asumsi bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan.
Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan. Dengan demikian pembangunan pendidikan tidak hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan saja tetapi juga hams lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk dapat mengemban maksud tersebut, secara efektif dibutuhkan kepemimpinan yang handal agar dapat memberikan perubahan yang sangat berarti dalam suatu sistem yang diharapkan untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas pelayanan pendidikan, untuk mewujudkan sistem manajemen sekolah yang berbasis keunggulan. Tentu saja hal ini berakibat pada seluruh tatanan sistem organisasi, yang dirasakan langsung pada sistem kepegawaian, motivasi dan kualitas kehidupan kerja organisasi.
Sebagai seorang manajer di sekolah, kepala sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar dalam membuat keputusan. Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam suasana perubahan lingkungan yang cepat, salah satu hal yang menyebabkan prestasi sekolah dan mutu lulusan menurun adalah kepemimpinan kepala sekolah yang kurang berhasil (Departement of education State of Delaware, 2001). Kepala sekolah sebagai pimpinan di sekolah memiliki peran strategis dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu lulusan,yang mampu menunjukan daya juang dan sifat kompetitifnya dalam persaingan global.
Kepala sekolah memiliki wewenang secara formal dan bisa jadi kharismatik sebagai pemimpin sekolah sehingga karena wewenangnya tersebut muncul sebuah kekhawatiran yang besar apabila kepala sekolah kurang bisa memimpin sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam menjalankan sekolahnya tidak akan terlepas dari kemampuan kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah dalam melaksanakan fungsi dan peran sebagai kepala sekolah.
Untuk itu, seorang kepala sekolah dituntut mampu memiliki kesiapan dalam mengelola sekolah. Kesiapan yang dimaksud adalah berkenaan dengan kemampuan manajerial sebagai seorang pimpinan. Kemampuan managerial yang dimaksudkan disini adalah berkenaan dengan kemampuannya dalam membuat perencanaan (planning), mengorganisasikan (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling). Dengan kemampuan semacam itu, diharapkan setiap pimpinan mampu menjadi pendorong dan penegak disiplin bagi para karyawannya agar mereka mampu menunjukkan produktivitas kerjanya dengan baik.
Berangkat dari konsep Hersey (dalam Sumidjo, 2002 : 99) yang menyatakan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas manajerial diperlukan tiga macam bidang keterampilan, yaitu : technical, human dan conceptual. Dengan memiliki ketiga keterampilan dasar tersebut di atas, kepala sekolah dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan ketentuan, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan yang bermutu. Maka dari itu kemampuan manajerial kepala sekolah ditandai oleh kemampuan untuk mengambil keputusan (decision making) dan tindakan secara tepat, akurat dan relevan.
Ketiga kemampuan manajerial kepala sekolah tersebut ditandai dengan kemampuan dalam merumuskan program kerja, mengkoordinasikan pelaksanaan program kerja, baik dengan dewan guru maupun dengan yang lainnya yang terkait dalam pendidikan suatu kemampuan dalam melakukan evaluasi terhadap program kerja sekolah yang telah dilaksanakan. Penerapan kemampuan manajerial kepala sekolah di atas, pada akhirnya akan tertuju pada penyelenggaraan dan pencapaian mutu pendidikan di lingkungannya.
Dalam suatu organisasi modern, peran lingkungan adalah melakukan sejumlah fungsi, antara lain : memperkuat organisasi beserta perangkat kerjanya, menerapkan tapal batas artinya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, memberi standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan apa yang dilakukan oleh para pegawai, sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memadu dan membentuk sikap serta perilaku pegawai.
Selain mempunyai berbagai fungsi yang berdampak positif, organisasi justru dapat ditimpa kegagalan karena peran lingkungan yang tidak diharapkan, yaitu tidak mendorong pada pencapaian kinerja sebuah organisasi., sehingga organisasi yang mempekerjakan pegawai yang tidak mampu melakukan integrasi dan adaptasi terhadap lingkungan dan atau sebaliknya, maka akan menghasilkan tingkat pencapaian kinerja yang relatif rendah.
Dalam pengelolaan suatu organisasi di bidang pendidikan, sumber daya manusia (tenaga kependidikan) menempati posisi yang sangat penting dalam menjamin kelancaran kerja, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan aktivitas utama organisasi untuk menghasilkan output tertentu yang diusahakan. Akibatnya tenaga kependidikan yang berhubungan langsung dengan aktivitas utama organisasi, dituntut agar dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan tersebut yang akhirnya secara langsung dapat diterima dari jumlah, maupun kwalitasnya. Pencapaian persyaratan-persyaratan pekerjaan inilah yang dewasa ini biasa disebut dengan istilah "kinerja" (Simamora, 1995 :327).
Pernyataan di atas memberikan gambaran bahwa seorang pimpinan harus mampu mengelola segala sumber daya yang ada di sekolah, mengarahkan dan sekaligus mempengaruhi berbagai aktivitas yang memotivasi berkaitan dengan tugas para anggotanya yang ada di bawahnya. Berkenaan dengan penelitian ini, maka kemampuan tersebut sangat diperlukan. Maksudnya bahwa kemampuan mengarahkan dan mempengaruhi anggotanya adalah berkaitan dengan bagaimana seorang kepala sekolah mampu menjalin suatu budaya di sekolah dengan cara menanamkan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan dalam organisasi ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997 : 24) menyebutkan bahwa :
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya.
Fenomena yang menarik di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu masih ada pimpinan yang cenderung kurang mampu menerapkan si stem manajerial yang baik. Hal ini dapat dilihat dari kurang matangnya perencanaan yang dibuatnya, sehingga dalam pelaksanaannya menjadi kurang efektif. Begitu pula kurangnya pengawasan yang diberikan kepada guru, sehingga guru merasa bebas untuk tidak melakukan kegiatan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya guru yang malas,tidak disiplin,kurang rasa tanggung jawab sehingga menyebabkan kinerja guru semakin rendah. Padahal kalau ditelaah kemampuan manajerial pimpinan sangat diperlukan sekali. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Stogdil (Aminah, 1999 : 24) yaitu : "kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok".
Beberapa pemikiran untuk meningkatkan sekolah berbasis keunggulan dalam pendidikan adalah peningkatan sumber daya manusia, pendidikan apapun bentuknya harus diorientasikan pada proses belajar mengajar. Seperti pengembangan fasilitas, kurikulum, tenaga kependidikan dan lain-lain harus diorientasikan pada proses belajar mengajar. Peningkatan mutu harus didekati secara komprehensif dari seluruh komponen. Empat dimensi yang dapat dilihat untuk pendekatan mutu adalah dimensi input, proses, output, dan outcome (dampak). Pelanggan utama yang hams diposisikan sebagai pihak yang hams dilayani oleh pendidikan adalah peserta didik. Artinya pendidikan yang hams mengasah kepekaan siswa menyangkaut "olah rasa" (afektif), "olah pikir" (kognitif), dan "olah raga" (kinestetik) sebagai basis berbagai inovasi, solusi, dan ide-ide kreatif berkaitan dengan pendidikan hams senantiasa mempertimbangkan peserta didik. Berkaitan dengan perkembangan lingkungan dimana pendidikan itu berada, maka mutu pendidikan diorientasikan pada pembekalan peserta didik untuk bisa/mampu bembah setiap saat, menyesuaikan dengan perkembangan lingkungannya. Mutu dalam kondisi ini yang paling utama adalah membekali peserta didik menjadi orang yang senantiasa mampu belajar terns menerus,dimana guru memegang peranan penting dan utama baik secara kualitas pribadi dan profesional dalam upaya peningkatan pendidikan. Peran pendidik yang professional diperlukan sekali untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, sesuai dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa jabatan guru sebagai pendidik mempakan jabatan Profesional. Untuk mampu bersaing di fomm nasional maupun internasional, profesionalisme guru dituntut untuk terns berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mendidik maka diperlukan keterampilan khusus bagi guru untuk dapat menyampaikan mated atau membimbing siswa.
Keberadaan guru amatlah penting bagi suatu bangsa, terlebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan jaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala pembahan serta pergeseran nilai. Hal ini membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kemampuannya. Berkaitan dengan jabatan dan profesi tadi, fenomena sekarang terlihat di beberapa tempat bahwa masih terdapat guru yang belum memiliki keahlian yang ditunjukan dengan sertifikat atau ijazah dan akta sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Hal ini menjadi sangat berpengaruh terhadap kinerja guru itu sendiri, baik dalam pembelajarannya maupun di dalam kelas serta terhadap hasil yang diharapkan pada anak didik. Contohnya untuk mata pelajaran matematika, pada tingkat SMK di Kabupaten X belum memiliki guru matematika yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya, pengajar matematika dipegang oleh guru yang latar belakang Agama, Bahasa Sunda, Fisika, dan lain-lain.
Kepahaman akan mata pelajaran yang diajarkan kepada anak didik seolah-olah dikesampingkan, yang ada hanyalah terpenuhinya mata pelajaran yang hams disampaikan pada anak didik, tidak menghiraukan kesesuaian dengan latar belakang pendidiknya dan tidak memandang kompetensi yang hams dimiliki oleh seorang guru tadi, apakah mampu menyampaikan pelajaran pada anak didik atau tidak, guru dan murid hanya beda satu malam dalam pemahamannya. Demikian juga untuk pembuatan rencana pembelajaran, mereka kurang maksimal. Hal ini tentu sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan pada umumnya. Padahal saat ini pemerintah bemsaha meningkatkan kualitas pendidikan, mengingat tantangan abad ke-21 terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang semakin berat, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika. Hal ini sangat mendasar sehubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa perubahan hampir di semua aspek kehidupan manusia, dan jawaban semua itu ada pada penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan serta teknologi. Selain hal tersebut, Pemerintah tidak saja meningkatkan kualitas tetapi kuantitas juga sangat diutamakan, shingga angka partisipasi anak bersekolah akan semakin tinggi. Terkait dengan itu maka penguasaan akan keterampilan dan pengetahuan tentang keguruan yang maksimal mutlak hams dimiliki oleh Guru.
Budaya organisasi yang kerap disebut dengan iklim kerja yang menggambarkan suasana dan hubungan kerja antara sesama guru, antara guru dengan kepala sekolah, antara guru dengan tenaga kependidikan lainnya serta antar dinas di lingkungannya mempakan wujud dari lingkungan kerja yang kondusif. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan guru dan kepala sekolah untuk melaksanakan pekerjaannya dengan lebih efektif. Budaya sekolah dapat digambarkan melalui sikap saling mendukung {supportive), tingkat persahabatan (collegia!), tingkat keintian (intimate) serta kerja sama (cooperative). Kondisi yang terjadi atas keempat dimensi budaya sekolah tersebut berpotensi meningkatkan kinerja guru.
Proses pendidikan tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan hams direncanakan, diprogram, dan difasilitasi dengan dukungan dan partisipasi aktif guru sebagai pendidik. Tugas dan tanggung jawab guru adalah mengubah perilaku peserta didik kearah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung kepada pelaksanaan tugas dan kinerja guru di samping kemampuan peserta didik itu sendiri serta dukungan komponen sistem pendidikan lainnya. Posisi strategis guru mempakan salah satu faktor penentu kualitas proses dan hasil pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan akan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mengarahkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Ketika pembelajaran berlangsung, guru tidak sekedar menyampaikan pelajaran akan tetapi juga menciptakan suasana belajar dengan lancar. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan siswa sehingga kelas menjadi tempat yang menyenangkan dan siswa lebih mudah memahami pelajaran.
Dari informasi data Pengawas Pembina SMK Kabupaten X bahwa jumlah guru yang mengajar sesuai latar belakang 94%, jumlah guru yang mengikuti kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dari 12 mata pelajaran 7 mata pelajaran yang telah berjalan berarti 58,33% yang telah mengikti MGMP, dan peralihan dari guru SMP ke SMK Kabupaten Purwakarat 10% sehingga permasalahan tersebut belum menunjukkan kinerja dan produktifitas kerja yang tinggi sesuai yang diharapkan. Apabila sekolah menginginkan mutu sekolah unggul, maka mutu hams diorientasikan secara terns menems (dibudayakan), sehingga menjadi program keseharian untuk setiap kegiatan yang dilakukan.
Dari hasil observasi awal di lokasi penelitian (tahun 2009), peneliti mendapatkan informasi yang mengindikasikan bahwa kinerja guru tingkat SMK di Kabupaten X belum optimal. Dalam dugaan peneliti, hal ini disebabkan antara lain oleh faktor-faktor kepemimpinan kepala sekolah, dan budaya sekolah. Karena pada saat ini, maupun yang akan datang, baik penentu maupun pelaksana kebijakan pendidikan harus berkemampuan merespon pembahan tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu tinggi. Salah satu implikasinya adalah peningkatan kinerja guru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru antara lain : kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah sumber daya manusia (guru & TU); kebijakan pemerintah; biaya dan fasilitas; sarana dan prasarana. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi kinerja guru yaitu kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang akan menitik beratkan terhadap kinerja guru dengan judul : "Pengaruh Manajerial Kepala Sekolah dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Guru pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten X."
B. Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian yang disajikan dalam topik ini dirumuskan sebagai berikut : "Seberapa besarkah Pengaruh Manajerial Kepala Sekolah dan Budaya organisasi terhadap Kinerja Guru pada SMK di Kabupaten X".
Permasalahan yang dikemukakan di atas, dapat dielaborasi sebagai berikut :
a. Bagaimana gambaran manajerial kepala sekolah, budaya organisasi dan kinerja Guru pada SMK X?
b. Bagaimana pengamh manajerial kepala sekolah terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
c. Bagaimana pengamh budaya organisasi terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
d. Bagaimana pengamh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi secara bersama terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya faktor yang berpengamh pada efektivitas kerja guru dan agar lebih fokus maka penelitian ini dibatasi pada dua variabel bebas, yakni : manajerial kepala sekolah (X1), dan budaya organisasi (X2), serta satu variabel terikat, yaitu, kinerja guru (Y). Penelitian ini terbatas pada guru SMK se-Kabupaten X.
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mencari dan meneliti fakta-fakta tentang masalah-masalah yang diteliti pada SMK di Kabupaten X, dalam hal ini mengenai pengamh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi terhadap kinerja guru.
2. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi terhadap kinerja guru pada SMK di Kabupaten X.
b. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran tentang :
1) Manajerial kepala sekolah dalam pengelolaan sekolah di SMK se-Kabupaten X.
2) Budaya organisasi yang berkembang di SMK se-Kabupaten X.
3) Kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
4) Manajerial kepala sekolah terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
5) Budaya organisasi terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
6) Pengaruh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi dalam kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mempunyai kegunaan baik dari segi teoritis maupun segi praktis sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan. Pengembangan keilmuan administrasi pendidikan, khususnya dalam manajerial kepala sekolah, budaya organisasi dan kinerja guru.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan lebih lanjut baik bagi peneliti maupun bagi kepada kepala sekolah dan guru-guru pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten X dalam upaya pengembangan kinerja lembaga sekolah dalam mewujudkan lulusan yang berkualitas yang siap terjun ke dunia kerja maupun yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi pendidikan merupakan salah satu konsekuwensi sebagai akibat bangsa Indonesia tengah menjalani proses tumbuh kembang berbangsa dan bernegara dalam transisi dari sentralistik ke desentralistik. Maka makin menguatnya pemberlakuan otonomi daerah sesuai Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yaitu penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Masalah ini membawa implikasi tersendiri dalam manajemen penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, salah satu pendekatan yang mengakomodasi tuntutan terbaru pengelolaan pendidikan di daerah adalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang ditetapkan melalui Permendiknas Nomor 053/u/2001. Konsep ini bertujuan untuk mendirikan, memberikan otoritas kepada sekolah memberdayakan sekolah, keleluasaan mengembangkan program sekolah, dan mengelola sumber daya dan potensi yang ada di sekolah sehingga akan terwujud sekolah efektif dan bermutu.
Berdasarkan konsep perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan pendidikan politik masyarakat lokal yang memberikan keleluasaan pemerintah melayani public agar lebih efektif , efisien dan ekonomis. Maka Penyelenggaraan Pendidikan khususnya yang menyangkut Sistem Manajemen Sekolah harus pula berubah, sinergis dengan esensi tujuan pendidikan yang ditetapkan UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional memperkenalkan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Disederhanakan menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan memprioritaskan indikator utama yaitu otonomi sekolah. Peningkatan mutu suatu organisasi yang mengadakan perubahan akan membawa organisasi pada situasi yang lain dari sebelumnya. Perubahan yang terjadi dapat diperkuat atau diperlemah dalam kehidupan organisasi, perubahan dalam organisasi ini melibatkan sumber daya manusia yang berperan dalam peningkatan kinerja organisasi (Alford, 1998 : 63). Peran sumber daya manusia pada masa kini akan menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan . Oleh karena itu, amat dibutuhkan pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai asset Pendidikan
Globalisasi pendidikan masa kini diharapkan lebih modern dan profesional sehingga mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat.
Permasalahan dalam peningkatan kualitas pendidikan berkaitan dengan strategi pembangunan pendidikan, yang selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi tersebut didasarkan kepada asumsi bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan.
Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan. Dengan demikian pembangunan pendidikan tidak hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan saja tetapi juga hams lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk dapat mengemban maksud tersebut, secara efektif dibutuhkan kepemimpinan yang handal agar dapat memberikan perubahan yang sangat berarti dalam suatu sistem yang diharapkan untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas pelayanan pendidikan, untuk mewujudkan sistem manajemen sekolah yang berbasis keunggulan. Tentu saja hal ini berakibat pada seluruh tatanan sistem organisasi, yang dirasakan langsung pada sistem kepegawaian, motivasi dan kualitas kehidupan kerja organisasi.
Sebagai seorang manajer di sekolah, kepala sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar dalam membuat keputusan. Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam suasana perubahan lingkungan yang cepat, salah satu hal yang menyebabkan prestasi sekolah dan mutu lulusan menurun adalah kepemimpinan kepala sekolah yang kurang berhasil (Departement of education State of Delaware, 2001). Kepala sekolah sebagai pimpinan di sekolah memiliki peran strategis dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu lulusan,yang mampu menunjukan daya juang dan sifat kompetitifnya dalam persaingan global.
Kepala sekolah memiliki wewenang secara formal dan bisa jadi kharismatik sebagai pemimpin sekolah sehingga karena wewenangnya tersebut muncul sebuah kekhawatiran yang besar apabila kepala sekolah kurang bisa memimpin sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam menjalankan sekolahnya tidak akan terlepas dari kemampuan kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah dalam melaksanakan fungsi dan peran sebagai kepala sekolah.
Untuk itu, seorang kepala sekolah dituntut mampu memiliki kesiapan dalam mengelola sekolah. Kesiapan yang dimaksud adalah berkenaan dengan kemampuan manajerial sebagai seorang pimpinan. Kemampuan managerial yang dimaksudkan disini adalah berkenaan dengan kemampuannya dalam membuat perencanaan (planning), mengorganisasikan (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling). Dengan kemampuan semacam itu, diharapkan setiap pimpinan mampu menjadi pendorong dan penegak disiplin bagi para karyawannya agar mereka mampu menunjukkan produktivitas kerjanya dengan baik.
Berangkat dari konsep Hersey (dalam Sumidjo, 2002 : 99) yang menyatakan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas manajerial diperlukan tiga macam bidang keterampilan, yaitu : technical, human dan conceptual. Dengan memiliki ketiga keterampilan dasar tersebut di atas, kepala sekolah dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan ketentuan, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan yang bermutu. Maka dari itu kemampuan manajerial kepala sekolah ditandai oleh kemampuan untuk mengambil keputusan (decision making) dan tindakan secara tepat, akurat dan relevan.
Ketiga kemampuan manajerial kepala sekolah tersebut ditandai dengan kemampuan dalam merumuskan program kerja, mengkoordinasikan pelaksanaan program kerja, baik dengan dewan guru maupun dengan yang lainnya yang terkait dalam pendidikan suatu kemampuan dalam melakukan evaluasi terhadap program kerja sekolah yang telah dilaksanakan. Penerapan kemampuan manajerial kepala sekolah di atas, pada akhirnya akan tertuju pada penyelenggaraan dan pencapaian mutu pendidikan di lingkungannya.
Dalam suatu organisasi modern, peran lingkungan adalah melakukan sejumlah fungsi, antara lain : memperkuat organisasi beserta perangkat kerjanya, menerapkan tapal batas artinya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, memberi standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan apa yang dilakukan oleh para pegawai, sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memadu dan membentuk sikap serta perilaku pegawai.
Selain mempunyai berbagai fungsi yang berdampak positif, organisasi justru dapat ditimpa kegagalan karena peran lingkungan yang tidak diharapkan, yaitu tidak mendorong pada pencapaian kinerja sebuah organisasi., sehingga organisasi yang mempekerjakan pegawai yang tidak mampu melakukan integrasi dan adaptasi terhadap lingkungan dan atau sebaliknya, maka akan menghasilkan tingkat pencapaian kinerja yang relatif rendah.
Dalam pengelolaan suatu organisasi di bidang pendidikan, sumber daya manusia (tenaga kependidikan) menempati posisi yang sangat penting dalam menjamin kelancaran kerja, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan aktivitas utama organisasi untuk menghasilkan output tertentu yang diusahakan. Akibatnya tenaga kependidikan yang berhubungan langsung dengan aktivitas utama organisasi, dituntut agar dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan tersebut yang akhirnya secara langsung dapat diterima dari jumlah, maupun kwalitasnya. Pencapaian persyaratan-persyaratan pekerjaan inilah yang dewasa ini biasa disebut dengan istilah "kinerja" (Simamora, 1995 :327).
Pernyataan di atas memberikan gambaran bahwa seorang pimpinan harus mampu mengelola segala sumber daya yang ada di sekolah, mengarahkan dan sekaligus mempengaruhi berbagai aktivitas yang memotivasi berkaitan dengan tugas para anggotanya yang ada di bawahnya. Berkenaan dengan penelitian ini, maka kemampuan tersebut sangat diperlukan. Maksudnya bahwa kemampuan mengarahkan dan mempengaruhi anggotanya adalah berkaitan dengan bagaimana seorang kepala sekolah mampu menjalin suatu budaya di sekolah dengan cara menanamkan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan dalam organisasi ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997 : 24) menyebutkan bahwa :
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya.
Fenomena yang menarik di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu masih ada pimpinan yang cenderung kurang mampu menerapkan si stem manajerial yang baik. Hal ini dapat dilihat dari kurang matangnya perencanaan yang dibuatnya, sehingga dalam pelaksanaannya menjadi kurang efektif. Begitu pula kurangnya pengawasan yang diberikan kepada guru, sehingga guru merasa bebas untuk tidak melakukan kegiatan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya guru yang malas,tidak disiplin,kurang rasa tanggung jawab sehingga menyebabkan kinerja guru semakin rendah. Padahal kalau ditelaah kemampuan manajerial pimpinan sangat diperlukan sekali. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Stogdil (Aminah, 1999 : 24) yaitu : "kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok".
Beberapa pemikiran untuk meningkatkan sekolah berbasis keunggulan dalam pendidikan adalah peningkatan sumber daya manusia, pendidikan apapun bentuknya harus diorientasikan pada proses belajar mengajar. Seperti pengembangan fasilitas, kurikulum, tenaga kependidikan dan lain-lain harus diorientasikan pada proses belajar mengajar. Peningkatan mutu harus didekati secara komprehensif dari seluruh komponen. Empat dimensi yang dapat dilihat untuk pendekatan mutu adalah dimensi input, proses, output, dan outcome (dampak). Pelanggan utama yang hams diposisikan sebagai pihak yang hams dilayani oleh pendidikan adalah peserta didik. Artinya pendidikan yang hams mengasah kepekaan siswa menyangkaut "olah rasa" (afektif), "olah pikir" (kognitif), dan "olah raga" (kinestetik) sebagai basis berbagai inovasi, solusi, dan ide-ide kreatif berkaitan dengan pendidikan hams senantiasa mempertimbangkan peserta didik. Berkaitan dengan perkembangan lingkungan dimana pendidikan itu berada, maka mutu pendidikan diorientasikan pada pembekalan peserta didik untuk bisa/mampu bembah setiap saat, menyesuaikan dengan perkembangan lingkungannya. Mutu dalam kondisi ini yang paling utama adalah membekali peserta didik menjadi orang yang senantiasa mampu belajar terns menerus,dimana guru memegang peranan penting dan utama baik secara kualitas pribadi dan profesional dalam upaya peningkatan pendidikan. Peran pendidik yang professional diperlukan sekali untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, sesuai dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa jabatan guru sebagai pendidik mempakan jabatan Profesional. Untuk mampu bersaing di fomm nasional maupun internasional, profesionalisme guru dituntut untuk terns berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mendidik maka diperlukan keterampilan khusus bagi guru untuk dapat menyampaikan mated atau membimbing siswa.
Keberadaan guru amatlah penting bagi suatu bangsa, terlebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan jaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala pembahan serta pergeseran nilai. Hal ini membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kemampuannya. Berkaitan dengan jabatan dan profesi tadi, fenomena sekarang terlihat di beberapa tempat bahwa masih terdapat guru yang belum memiliki keahlian yang ditunjukan dengan sertifikat atau ijazah dan akta sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Hal ini menjadi sangat berpengaruh terhadap kinerja guru itu sendiri, baik dalam pembelajarannya maupun di dalam kelas serta terhadap hasil yang diharapkan pada anak didik. Contohnya untuk mata pelajaran matematika, pada tingkat SMK di Kabupaten X belum memiliki guru matematika yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya, pengajar matematika dipegang oleh guru yang latar belakang Agama, Bahasa Sunda, Fisika, dan lain-lain.
Kepahaman akan mata pelajaran yang diajarkan kepada anak didik seolah-olah dikesampingkan, yang ada hanyalah terpenuhinya mata pelajaran yang hams disampaikan pada anak didik, tidak menghiraukan kesesuaian dengan latar belakang pendidiknya dan tidak memandang kompetensi yang hams dimiliki oleh seorang guru tadi, apakah mampu menyampaikan pelajaran pada anak didik atau tidak, guru dan murid hanya beda satu malam dalam pemahamannya. Demikian juga untuk pembuatan rencana pembelajaran, mereka kurang maksimal. Hal ini tentu sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan pada umumnya. Padahal saat ini pemerintah bemsaha meningkatkan kualitas pendidikan, mengingat tantangan abad ke-21 terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang semakin berat, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika. Hal ini sangat mendasar sehubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa perubahan hampir di semua aspek kehidupan manusia, dan jawaban semua itu ada pada penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan serta teknologi. Selain hal tersebut, Pemerintah tidak saja meningkatkan kualitas tetapi kuantitas juga sangat diutamakan, shingga angka partisipasi anak bersekolah akan semakin tinggi. Terkait dengan itu maka penguasaan akan keterampilan dan pengetahuan tentang keguruan yang maksimal mutlak hams dimiliki oleh Guru.
Budaya organisasi yang kerap disebut dengan iklim kerja yang menggambarkan suasana dan hubungan kerja antara sesama guru, antara guru dengan kepala sekolah, antara guru dengan tenaga kependidikan lainnya serta antar dinas di lingkungannya mempakan wujud dari lingkungan kerja yang kondusif. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan guru dan kepala sekolah untuk melaksanakan pekerjaannya dengan lebih efektif. Budaya sekolah dapat digambarkan melalui sikap saling mendukung {supportive), tingkat persahabatan (collegia!), tingkat keintian (intimate) serta kerja sama (cooperative). Kondisi yang terjadi atas keempat dimensi budaya sekolah tersebut berpotensi meningkatkan kinerja guru.
Proses pendidikan tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan hams direncanakan, diprogram, dan difasilitasi dengan dukungan dan partisipasi aktif guru sebagai pendidik. Tugas dan tanggung jawab guru adalah mengubah perilaku peserta didik kearah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung kepada pelaksanaan tugas dan kinerja guru di samping kemampuan peserta didik itu sendiri serta dukungan komponen sistem pendidikan lainnya. Posisi strategis guru mempakan salah satu faktor penentu kualitas proses dan hasil pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan akan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mengarahkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Ketika pembelajaran berlangsung, guru tidak sekedar menyampaikan pelajaran akan tetapi juga menciptakan suasana belajar dengan lancar. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan siswa sehingga kelas menjadi tempat yang menyenangkan dan siswa lebih mudah memahami pelajaran.
Dari informasi data Pengawas Pembina SMK Kabupaten X bahwa jumlah guru yang mengajar sesuai latar belakang 94%, jumlah guru yang mengikuti kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dari 12 mata pelajaran 7 mata pelajaran yang telah berjalan berarti 58,33% yang telah mengikti MGMP, dan peralihan dari guru SMP ke SMK Kabupaten Purwakarat 10% sehingga permasalahan tersebut belum menunjukkan kinerja dan produktifitas kerja yang tinggi sesuai yang diharapkan. Apabila sekolah menginginkan mutu sekolah unggul, maka mutu hams diorientasikan secara terns menems (dibudayakan), sehingga menjadi program keseharian untuk setiap kegiatan yang dilakukan.
Dari hasil observasi awal di lokasi penelitian (tahun 2009), peneliti mendapatkan informasi yang mengindikasikan bahwa kinerja guru tingkat SMK di Kabupaten X belum optimal. Dalam dugaan peneliti, hal ini disebabkan antara lain oleh faktor-faktor kepemimpinan kepala sekolah, dan budaya sekolah. Karena pada saat ini, maupun yang akan datang, baik penentu maupun pelaksana kebijakan pendidikan harus berkemampuan merespon pembahan tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu tinggi. Salah satu implikasinya adalah peningkatan kinerja guru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru antara lain : kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah sumber daya manusia (guru & TU); kebijakan pemerintah; biaya dan fasilitas; sarana dan prasarana. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi kinerja guru yaitu kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang akan menitik beratkan terhadap kinerja guru dengan judul : "Pengaruh Manajerial Kepala Sekolah dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Guru pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten X."
B. Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian yang disajikan dalam topik ini dirumuskan sebagai berikut : "Seberapa besarkah Pengaruh Manajerial Kepala Sekolah dan Budaya organisasi terhadap Kinerja Guru pada SMK di Kabupaten X".
Permasalahan yang dikemukakan di atas, dapat dielaborasi sebagai berikut :
a. Bagaimana gambaran manajerial kepala sekolah, budaya organisasi dan kinerja Guru pada SMK X?
b. Bagaimana pengamh manajerial kepala sekolah terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
c. Bagaimana pengamh budaya organisasi terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
d. Bagaimana pengamh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi secara bersama terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya faktor yang berpengamh pada efektivitas kerja guru dan agar lebih fokus maka penelitian ini dibatasi pada dua variabel bebas, yakni : manajerial kepala sekolah (X1), dan budaya organisasi (X2), serta satu variabel terikat, yaitu, kinerja guru (Y). Penelitian ini terbatas pada guru SMK se-Kabupaten X.
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mencari dan meneliti fakta-fakta tentang masalah-masalah yang diteliti pada SMK di Kabupaten X, dalam hal ini mengenai pengamh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi terhadap kinerja guru.
2. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi terhadap kinerja guru pada SMK di Kabupaten X.
b. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran tentang :
1) Manajerial kepala sekolah dalam pengelolaan sekolah di SMK se-Kabupaten X.
2) Budaya organisasi yang berkembang di SMK se-Kabupaten X.
3) Kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
4) Manajerial kepala sekolah terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
5) Budaya organisasi terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
6) Pengaruh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi dalam kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mempunyai kegunaan baik dari segi teoritis maupun segi praktis sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan. Pengembangan keilmuan administrasi pendidikan, khususnya dalam manajerial kepala sekolah, budaya organisasi dan kinerja guru.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan lebih lanjut baik bagi peneliti maupun bagi kepada kepala sekolah dan guru-guru pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten X dalam upaya pengembangan kinerja lembaga sekolah dalam mewujudkan lulusan yang berkualitas yang siap terjun ke dunia kerja maupun yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
TESIS MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MELALUI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA GURU DAN PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI
(KODE : PASCSARJ-0123) : TESIS MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MELALUI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA GURU DAN PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)
A. LATAR BELAKANG
Amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 Ayat 1), bahkan setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1). Dalam pelaksanaannya, pendidikan akan berhasil dan berjalan efektif jika pengelolaan sumber daya manusia khususnya guru mendapatkan perhatian khusus dan signifikan.
Dalam pengertian umum, kualitas/mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlihat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana, sumber daya lainnya dan penciptaan suasana yang kondusif.
Kualitas dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan {student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (ujian blok dan ujian nasional). Dapat pula prestasi di bidang non akademis seperti prestasi dalam cabang olah raga, kesenian atau bidang lain. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi abstrak {intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Proses pencapaian mutu pendidikan tidak lepas dari sosok dan peran guru sebagai pelaku utama, disamping lingkungan sekolah dan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses memajukan pendidikan di Indonesia sehingga kualitas guru harus ditingkatkan dan dikembangkan mutunya sesuai dengan kompetensi yang telah diatur dalam undang-undang.
Pengembangan sumber daya guru, apabila mengacu pada undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang tercantum di pasal 10, tentang kopetensi guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social dan kopetensi professional.
Kompetensi pedagogik artinya bahwa guru yang ideal adalah memiliki pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, memiliki pemahaman terhadap peserta didik, dapat melakukan pengembangan kurikulum/silabus, dapat membuat rancangan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, memanfaatkan teknologi pembelajaran, melakukan evaluasi hasil belajar, serta dapat mengembangkan peserta didik dalam mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Kompetensi kepribadian adalah guru harus memiliki sikap-sikap mantap, berakhlak mulia, arif dan bijaksana, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, mampu menjadi teladan bagi peserta dan masyarakat, mampu secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial artinya bahwa guru harus mampu berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat, mampu menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, mampu bergaul dengan seluruh komponen, bergaul secara santun sesuai dengan norma yang ada di masyarakat, serta menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat keberamaan.
Kompetensi profesional adalah kemampuan guru dalam penguasaan mated secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang diampu, menguasai konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang diampu.
Mengingat efektivitas pembelajaran sangat berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan sebab pendidikan merupakan proses pembinaan individu yang sedang mengalami pertumbuhan ke dalam lingkup masyarakat. Dalam kegiatan pendidikan terjadi pembinaan terhadap perkembangan potensi peserta didik untuk memenuhi kelangsungan hidupnya secara pribadi dan kesejahteraan kolektif di masyarakat. Sebagai usaha sadar, pendidikan diarahkan untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka mengisi peranan tertentu di masyarakat pada masa yang akan dating. Pengaruh guru yang sangat besar terhadap perkembangan peserta didik tersebut maka guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal. Sehingga ada pengamh antara peningkatan efektivitas pembelajaran dengan peningkatan sumber daya manusia.
Pada lingkup Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan, menandakan bahwa standar pendidik dalam hal ini guru sangat di hamskan oleh pemerintah dalam menciptakan pendidikan yang lebih maju untuk proses belajar mengajar. Oleh sebab itu guru hams memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai dengan bidang keahlian keilmuannya sehingga memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Namun demikian pada kenyataan yang ada di lapangan, masih banyak dijumpai guru yang mengajar di luar bidang keahliannya yang secara teknis (mismatch), antara lain sebagai contoh ekstrim guru sejarah mengajar matematika dan IPA.
Guru mempakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang utama dalam penyelenggaraan pendidikan, mempakan orang yang bekerja dalam suatu lembaga pendidikan. Sumber Daya Manusia mempakan aset yang paling berharga karena tanpa manusia maka sumber daya pendidikan dan kependidikan tidak akan dapat mencapai tujuan pendidikan sebagai mana mestinya. Sebagai sumber daya manusia yang mempunyai potensi individu, guru hams mengembangkan diri dalam fungsinya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam lembaga pendidikan yang senantiasa bembah dengan cepat, sejalan dengan terjadinya globalisasi. Dalam atmosfir seperti ini, sekolah dituntut untuk melakukan pengembangan sumber daya guru secara optimal.
Mengingat permasalahan daya saing dalam dunia pendidikan yang semakin terbuka,, maka tantangan yang dihadapi dunia pendidikan tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi niscaya pendidikan Indonesia tidak akan mampu menciptakan lulusan yang kompeten di bidangnya. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif pendidikan Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku pendidikan itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan yang berkepentingan dengan dunia pendidikan.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing pendidikan. Daya saing tersebut akan terwujud bila didukung oleh sumber daya guru yang handal.
Pendidikan merupakan kegiatan yang kompleks, dan meliputi berbagai komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Untuk memperoleh pendidikan berkualitas dan mampu berperan aktif dalam menjalankan misinya untuk mendidik dan melatih sumber daya manusia, maka setiap komponen yang ada harus mampu bersinergi dan membentuk keselarasan dalam menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Ketimpangan salah satu dari komponen penyangga akan berakibat kurang harmonisnya operasional pendidikan yang dilakukan.
Pengelolaan pendidikan dapat dibedakan secara mikro maupun secara makro. Secara mikro pendidikan lebih berkaitan antara kegiatan yang dilakukan guru dan siswa. Sedangkan secara makro, pendidikan menjangkau beberapa elemen yang sangat luas yang salah satunya adalah pemerintah sebagai regulator, masyarakat dan siswa beserta guru dan didukung oleh berbagai perangkat pendukung lainnya.
Cukup banyak faktor yang terlibat dalam organisasi atau lembaga untuk pengelolaan pendidikan, beberapa lembaga yang cukup berperan adalah departemen pendidikan nasional sebagai wadah umum dalam penyelenggaraan pendidikan, yang selanjutnya diteruskan dan dibantu oleh lembaga yang lebih operasional seperti dinas maupun seksi-seksi pendidikan yang ditempatkan pada wilayah dan kota-kota tertentu. Lembaga tersebut memiliki peran dan fungsi yang berbeda satu dan lainnya, namun secara umum dimaksudkan untuk memberikan pelayanan pendidikan yang optimal bagi masyarakat agar mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Untuk mendapat sumber daya manusia yang berkualitas tinggi tersebut, hanya ada satu jalan pemecahan yang harus ditempuh, yakni melalui pendidikan dan pelatihan yang akan meningkatkan kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi seseorang untuk berperan dalam kehidupannya, baik secara individu maupun bermasyarakat. Disamping sumber daya guru yang kompeten, media pembelajaran yang tepat di gunakan dalam proses pembelajaran akan turut menentukan keberhasilan pembelajaran yang efektif. Teknologi informasi adalah salah satu media pembelajaran yang dirasa efektif dan efisien dalam proses pembelajaran yang berkembang pada saat ini. Dengan informasi dan teknologi yang berkembang saat ini, sehingga mampu menjawab berbagai tantangan dan kegiatan pembelajaran pun akan berjalan sesuai dengan target yang sudah ditentukan. Sehingga peran guru bukan sebagai central dalam kegiatan pembelajaran melainkan guru bisa sejajar dengan peserta didik dan menjadi mitra dalam kegiatan proses belajar mengajar.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat diidentifikasi masalah yang berkenaan dengan efekti vitas pembelajaran di SMPN (RSSN) di wilayah X, yaitu :
1. Kepemimpinan kepala sekolah
2. Pengembangan sumber daya guru
3. Sarana dan prasarana
4. Hubungan dengan dewan komite
5. Pembiayaan
6. Kurikulum/perangkat pembelajaran
7. Media pembelajaran yang relevan
C. BATASAN MASALAH.
Dari ke (7) masalah yang di identifikasi. Peneliti hanya membatasi pada pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi sebagai media pembelajaran untuk menunjang Pembelajaran yang efektif. Dikatakan efektif apabila dalam proses pembelajaran setiap elemen berfungsi secara keseluruhan, peserta didik merasa senang, puas dengan hasil pembelajaran, membawa kesan, sarana/fasilitas memadai, mated dan metode yang tepat dan guru yang professional (Udin S. Saud, 2005 :24).
Hal ini didasari oleh sudah berjalan nya penggunaan media teknologi informasi di SMPN (RSSN) di wilayah X. Disamping itu pelatihan yang berkenaan dengan penggunaan media teknologi informasi di kalangan guru pun sudah berjalan, Untuk melihat bagaimana efektivitas pembelajaran yang dipengamhi oleh pengembangan sumber daya guru SMP dan pelatihan penerapan teknologi informasi, maka perlu adanya studi tentang pengembangan sumber daya guru sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran yang akan berimplikasi terhadap mutu pendidikan.
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pembatasan masalah, maka masalah dapat dijabarkan ke dalam mmusan-mmusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran pengembangan sumber daya guru yang dilakukan di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
2. Bagaimana gambaran penerapan teknologi informasi di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
3. Bagaiman gambaran efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
4. Seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
5. Seberapa besar kontribusi penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
6. Seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran secara bersama-sama di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
D. TUJUAN PENELITIAN
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi dalam menunjang efektivitas pembelajaran di SMPN RSSN se wilayah X Kabupaten X Jawa Barat. Untuk mencapai tujuan umum tersebut dapat dirinci dalam tujuan khusus sebagai berikut.
1. Mengetahui dan menganalisis gambaran pengembangan sumber daya guru yang dilakukan di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
2. Mengetahui dan menganalisis gambaran penerapan teknologi informasi di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
3. Mengetahui dan menganalisis gambaran efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
4. Mengetahui dan menganalisis kontribusi pengembangan sumber daya guru terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
5. Mengetahui dan menganalisis kontribusi penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
6. Mengetahui dan menganalisis kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini baik secara teoritis maupun secara praktis yang dapat diambil hikmahnya adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan wawasan tentang ilmu administrasi pendidikan baik pada tingkatan makro dalam administasi pendidikan di lembaga birokrasi pendidikan, maupun pada tingkatan mikro dalam administrasi pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Khususnya pada tingkat sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menemukan model-model baru dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dan untuk meningkakan mutu pembelajaran. Selain itu hasil penelitian ini dapat menemukan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama antara guru dan peserta didik dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan kepada pihak sekolah, khususnya kepala sekolah dan guru agar dapat dan mau melaksanakan segala upaya yang berhubungan dengan peningkatan efektivitas pembelajaran dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
b. Memberikan masukkan kepada Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten X sebagai Pemerintah Daerah Otonom yang memiliki tanggun jawab lebih besar dalam memajukan lembaga pendidikan dalam semangat desentralisasi pendidikan yang harus melibatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara praktis, bagi pemerintah penelitian ini dapat menjadi umpan balik (feedback) yang diharapkan dapat memberikan gambaran sekaligus evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran di Kabupaten X.
BAB I
PENDAHULUAN
Amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 Ayat 1), bahkan setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1). Dalam pelaksanaannya, pendidikan akan berhasil dan berjalan efektif jika pengelolaan sumber daya manusia khususnya guru mendapatkan perhatian khusus dan signifikan.
Dalam pengertian umum, kualitas/mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlihat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana, sumber daya lainnya dan penciptaan suasana yang kondusif.
Kualitas dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan {student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (ujian blok dan ujian nasional). Dapat pula prestasi di bidang non akademis seperti prestasi dalam cabang olah raga, kesenian atau bidang lain. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi abstrak {intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Proses pencapaian mutu pendidikan tidak lepas dari sosok dan peran guru sebagai pelaku utama, disamping lingkungan sekolah dan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses memajukan pendidikan di Indonesia sehingga kualitas guru harus ditingkatkan dan dikembangkan mutunya sesuai dengan kompetensi yang telah diatur dalam undang-undang.
Pengembangan sumber daya guru, apabila mengacu pada undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang tercantum di pasal 10, tentang kopetensi guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social dan kopetensi professional.
Kompetensi pedagogik artinya bahwa guru yang ideal adalah memiliki pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, memiliki pemahaman terhadap peserta didik, dapat melakukan pengembangan kurikulum/silabus, dapat membuat rancangan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, memanfaatkan teknologi pembelajaran, melakukan evaluasi hasil belajar, serta dapat mengembangkan peserta didik dalam mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Kompetensi kepribadian adalah guru harus memiliki sikap-sikap mantap, berakhlak mulia, arif dan bijaksana, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, mampu menjadi teladan bagi peserta dan masyarakat, mampu secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial artinya bahwa guru harus mampu berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat, mampu menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, mampu bergaul dengan seluruh komponen, bergaul secara santun sesuai dengan norma yang ada di masyarakat, serta menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat keberamaan.
Kompetensi profesional adalah kemampuan guru dalam penguasaan mated secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang diampu, menguasai konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang diampu.
Mengingat efektivitas pembelajaran sangat berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan sebab pendidikan merupakan proses pembinaan individu yang sedang mengalami pertumbuhan ke dalam lingkup masyarakat. Dalam kegiatan pendidikan terjadi pembinaan terhadap perkembangan potensi peserta didik untuk memenuhi kelangsungan hidupnya secara pribadi dan kesejahteraan kolektif di masyarakat. Sebagai usaha sadar, pendidikan diarahkan untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka mengisi peranan tertentu di masyarakat pada masa yang akan dating. Pengaruh guru yang sangat besar terhadap perkembangan peserta didik tersebut maka guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal. Sehingga ada pengamh antara peningkatan efektivitas pembelajaran dengan peningkatan sumber daya manusia.
Pada lingkup Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan, menandakan bahwa standar pendidik dalam hal ini guru sangat di hamskan oleh pemerintah dalam menciptakan pendidikan yang lebih maju untuk proses belajar mengajar. Oleh sebab itu guru hams memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai dengan bidang keahlian keilmuannya sehingga memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Namun demikian pada kenyataan yang ada di lapangan, masih banyak dijumpai guru yang mengajar di luar bidang keahliannya yang secara teknis (mismatch), antara lain sebagai contoh ekstrim guru sejarah mengajar matematika dan IPA.
Guru mempakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang utama dalam penyelenggaraan pendidikan, mempakan orang yang bekerja dalam suatu lembaga pendidikan. Sumber Daya Manusia mempakan aset yang paling berharga karena tanpa manusia maka sumber daya pendidikan dan kependidikan tidak akan dapat mencapai tujuan pendidikan sebagai mana mestinya. Sebagai sumber daya manusia yang mempunyai potensi individu, guru hams mengembangkan diri dalam fungsinya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam lembaga pendidikan yang senantiasa bembah dengan cepat, sejalan dengan terjadinya globalisasi. Dalam atmosfir seperti ini, sekolah dituntut untuk melakukan pengembangan sumber daya guru secara optimal.
Mengingat permasalahan daya saing dalam dunia pendidikan yang semakin terbuka,, maka tantangan yang dihadapi dunia pendidikan tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi niscaya pendidikan Indonesia tidak akan mampu menciptakan lulusan yang kompeten di bidangnya. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif pendidikan Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku pendidikan itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan yang berkepentingan dengan dunia pendidikan.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing pendidikan. Daya saing tersebut akan terwujud bila didukung oleh sumber daya guru yang handal.
Pendidikan merupakan kegiatan yang kompleks, dan meliputi berbagai komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Untuk memperoleh pendidikan berkualitas dan mampu berperan aktif dalam menjalankan misinya untuk mendidik dan melatih sumber daya manusia, maka setiap komponen yang ada harus mampu bersinergi dan membentuk keselarasan dalam menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Ketimpangan salah satu dari komponen penyangga akan berakibat kurang harmonisnya operasional pendidikan yang dilakukan.
Pengelolaan pendidikan dapat dibedakan secara mikro maupun secara makro. Secara mikro pendidikan lebih berkaitan antara kegiatan yang dilakukan guru dan siswa. Sedangkan secara makro, pendidikan menjangkau beberapa elemen yang sangat luas yang salah satunya adalah pemerintah sebagai regulator, masyarakat dan siswa beserta guru dan didukung oleh berbagai perangkat pendukung lainnya.
Cukup banyak faktor yang terlibat dalam organisasi atau lembaga untuk pengelolaan pendidikan, beberapa lembaga yang cukup berperan adalah departemen pendidikan nasional sebagai wadah umum dalam penyelenggaraan pendidikan, yang selanjutnya diteruskan dan dibantu oleh lembaga yang lebih operasional seperti dinas maupun seksi-seksi pendidikan yang ditempatkan pada wilayah dan kota-kota tertentu. Lembaga tersebut memiliki peran dan fungsi yang berbeda satu dan lainnya, namun secara umum dimaksudkan untuk memberikan pelayanan pendidikan yang optimal bagi masyarakat agar mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Untuk mendapat sumber daya manusia yang berkualitas tinggi tersebut, hanya ada satu jalan pemecahan yang harus ditempuh, yakni melalui pendidikan dan pelatihan yang akan meningkatkan kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi seseorang untuk berperan dalam kehidupannya, baik secara individu maupun bermasyarakat. Disamping sumber daya guru yang kompeten, media pembelajaran yang tepat di gunakan dalam proses pembelajaran akan turut menentukan keberhasilan pembelajaran yang efektif. Teknologi informasi adalah salah satu media pembelajaran yang dirasa efektif dan efisien dalam proses pembelajaran yang berkembang pada saat ini. Dengan informasi dan teknologi yang berkembang saat ini, sehingga mampu menjawab berbagai tantangan dan kegiatan pembelajaran pun akan berjalan sesuai dengan target yang sudah ditentukan. Sehingga peran guru bukan sebagai central dalam kegiatan pembelajaran melainkan guru bisa sejajar dengan peserta didik dan menjadi mitra dalam kegiatan proses belajar mengajar.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat diidentifikasi masalah yang berkenaan dengan efekti vitas pembelajaran di SMPN (RSSN) di wilayah X, yaitu :
1. Kepemimpinan kepala sekolah
2. Pengembangan sumber daya guru
3. Sarana dan prasarana
4. Hubungan dengan dewan komite
5. Pembiayaan
6. Kurikulum/perangkat pembelajaran
7. Media pembelajaran yang relevan
C. BATASAN MASALAH.
Dari ke (7) masalah yang di identifikasi. Peneliti hanya membatasi pada pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi sebagai media pembelajaran untuk menunjang Pembelajaran yang efektif. Dikatakan efektif apabila dalam proses pembelajaran setiap elemen berfungsi secara keseluruhan, peserta didik merasa senang, puas dengan hasil pembelajaran, membawa kesan, sarana/fasilitas memadai, mated dan metode yang tepat dan guru yang professional (Udin S. Saud, 2005 :24).
Hal ini didasari oleh sudah berjalan nya penggunaan media teknologi informasi di SMPN (RSSN) di wilayah X. Disamping itu pelatihan yang berkenaan dengan penggunaan media teknologi informasi di kalangan guru pun sudah berjalan, Untuk melihat bagaimana efektivitas pembelajaran yang dipengamhi oleh pengembangan sumber daya guru SMP dan pelatihan penerapan teknologi informasi, maka perlu adanya studi tentang pengembangan sumber daya guru sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran yang akan berimplikasi terhadap mutu pendidikan.
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pembatasan masalah, maka masalah dapat dijabarkan ke dalam mmusan-mmusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran pengembangan sumber daya guru yang dilakukan di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
2. Bagaimana gambaran penerapan teknologi informasi di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
3. Bagaiman gambaran efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
4. Seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
5. Seberapa besar kontribusi penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
6. Seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran secara bersama-sama di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
D. TUJUAN PENELITIAN
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi dalam menunjang efektivitas pembelajaran di SMPN RSSN se wilayah X Kabupaten X Jawa Barat. Untuk mencapai tujuan umum tersebut dapat dirinci dalam tujuan khusus sebagai berikut.
1. Mengetahui dan menganalisis gambaran pengembangan sumber daya guru yang dilakukan di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
2. Mengetahui dan menganalisis gambaran penerapan teknologi informasi di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
3. Mengetahui dan menganalisis gambaran efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
4. Mengetahui dan menganalisis kontribusi pengembangan sumber daya guru terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
5. Mengetahui dan menganalisis kontribusi penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
6. Mengetahui dan menganalisis kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini baik secara teoritis maupun secara praktis yang dapat diambil hikmahnya adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan wawasan tentang ilmu administrasi pendidikan baik pada tingkatan makro dalam administasi pendidikan di lembaga birokrasi pendidikan, maupun pada tingkatan mikro dalam administrasi pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Khususnya pada tingkat sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menemukan model-model baru dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dan untuk meningkakan mutu pembelajaran. Selain itu hasil penelitian ini dapat menemukan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama antara guru dan peserta didik dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan kepada pihak sekolah, khususnya kepala sekolah dan guru agar dapat dan mau melaksanakan segala upaya yang berhubungan dengan peningkatan efektivitas pembelajaran dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
b. Memberikan masukkan kepada Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten X sebagai Pemerintah Daerah Otonom yang memiliki tanggun jawab lebih besar dalam memajukan lembaga pendidikan dalam semangat desentralisasi pendidikan yang harus melibatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara praktis, bagi pemerintah penelitian ini dapat menjadi umpan balik (feedback) yang diharapkan dapat memberikan gambaran sekaligus evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran di Kabupaten X.
TESIS KINERJA PROFESIONAL GURU DALAM PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI PENGEMBANG KURIKULUM
(KODE : PASCSARJ-0121) : TESIS KINERJA PROFESIONAL GURU DALAM PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI PENGEMBANG KURIKULUM (PRODI : PENGEMBANGAN KURIKULUM)
A. Latar Belakang Masalah
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni : (1) sarana gedung, (2) buku yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Demikian yang diungkapkan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancaranya dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tanggal 16 Agustus 2004. Dalam pada itu, dikemukakan bahwa "hanya 43% guru yang memenuhi syarat"; artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional. Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan. Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.
Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Mastarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Bangsa Indonesia bisa merdeka juga tidak terlepas dari peran pendidikan. Para pahlawan Pendidikan, seperti Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Mereka merintis pendidikan Nasional dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, dan secara bertahap meningkatkan pemahaman, kesadaran, serta kecerdasan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bangsa yang merdeka, dan berdaulat seperti sekarang ini.
Menyadari hal tersebut, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan, bangsa ini membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain didunia, bahkan dalam era kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai, dan sejahtera.
Persoalannya, pendidikan yang harus dikembangkan untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan, agar dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap dari negara lain, adalah pendidikan yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki visi, transparansi, dan pandangan jauh kedepan; yang tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut, sekarang banyak diabaikan, bahkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain; dari empat puluh tiga Negara, hampir dalam seluruh bidang kehidupan Indonesia berada urutan sepuluh terakhir. Index pengembangan sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 174 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 diantara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 diantara 47 negara pada tahun 2001. Sementara itu, hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post (3 september 2001) menunjukkan betapa rendahnya kualitas Pendidikan Indonesia disbanding Negara lain di Asia, bahkan berada dibawah Vietnam. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan HDI (Human Development Index) dan tingkat persaingan, perlu strategi perencanaan pembangunan pendidikan yang tepat dalam upaya mengembangkan SDM berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersanding dan bersaing dalam era globalisasi yang sedang kita masuki.
Tilaar (1994) mengemukakan tujuh masalah pokok sistem pendidikan Nasional yaitu :
- Menurunnya akhlak dan moral peserta didik
- Pemerataan kesempatan belajar
- Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan
- Status kelembagaan
- Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan
- Sumber daya yang belum profesional
Menghadapi hal tersebut diatas, perlu dilakukan penataan sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Pendidikan juga harus lebih mengedepankan kreativitas (creativity quotient) untuk menumbuhkan kemandirian dan aspek kewirausahaan dalam pribadi peserta didik.
Dalam kaitannya kondisi masyarakat, dapat disaksikan bahwa percepatan arus informasi, dan globalisasi telah mempengaruhi berbagai sendi kehidupan, bahkan telah mengikis nilai-nilai spritual, sehingga membuat masyarakat kehilangan identitas, serta terasing dari diri, lingkungan, dan nilai-nilai moral yang dianutnya. Disini, pendidikan dihadapkan pada masalah yang sangat mendasar. Disatu sisi, dituntut mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, agar menjadi wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disisi lain, kondisi masyarakat yang sedang sakit dan media massa yang sering menayangkan berbagai suasana kurang sehat, tidak menunjang terhadap pembentukan kualitas SDM yang diharapkan; bahkan akhir-akhir ini banyak tayangan media yang merupakan pembodohan massa, banyak program Televisi dan CD yang tidak sesuai dengan usia peserta didik padahal diperuntukkan bagi mereka, tidak sedikit tayangan yang bertentangan dengan ajaran agama, dan banyak pula program-program yang menyesatkan. Ini adalah tantangan berat terutama bagi perkembangan dunia pendidikan.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Soedijarto (1999) mendiagnosis berbagai faktor dan memberikan rekomendasi bagi pembaruan pendidikan yang relevan dengan tuntutan pembangunan, yang intinya berkesimpulan bahwa :
1) Pelaksanaan pendidikan belum secara terencana dan sistematik diperdayakan untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan pendidikan Nasional secara optimal
2) Pendidikan Nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasasi oleh IPTEK dan persaingan global belum sepenuhnya terlaksana
3) Pendidikan Nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditi yang mutunya mampu bersaiang dan mampu mengembangkan sistem perdagangan.
4) Pendidikan Nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan Indonesia yang Religius, berakhlak, berwatak ksatria dan patriotik.
5) Agar pendidikan Nasional benar-benar mampu melaksanakan fungsinya dan mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, perlu dikembangkan dan dilaksanakan program pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang dapat berfungsi sebagai lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, sikap dan akhlak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur serta demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Memahami uraian tersebut, diperlukan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (continuous quality inprovement). Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan Pendidikan tersebut telah digariskan pula dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu : (1) peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan, (2) relevansi pendidikan dengan pembangunan, (3) kualitas pendidikan, dan (4) efisiensi pengolahan pendidikan. Strategi tersebut jika dilaksanakan secara proposional dan profesional, maka akan dapat menyelesaikan berbagai masalah pendidikan. Paling tidak dapat mendekatkan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya.
Kebijakan dalam bidang pemerataan misalnya, dimaksudkan agar semua warga negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama untuk mengenyam dan mengikuti pendidikan yang berkualitas. Idealnya, warga negara yang tinggal di pedalaman dan daerah terpencil bisa memperoleh pendidikan gratis yang berkualitas seperti saudaranya yang ada di kota. Demikian halnya, warga negara yang miskin harus mendapatkan pendidikan yang sama kualitasnya dengan mereka yang kaya, sehingga pendidikan berkualiatas menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan kebijakan pemerataan pendidikan ini pada awalnya menunjukkan hasil yang cukup lumayan, seperti gerakan wajib belajar enam tahun yang dimulai pada tahun 1984, pada tahun 1994 diperluas menjadi sembilan tahun, dengan harapan semua warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan minimal setara dengan tamatan Sekolah Lnjutan Tingkat Pertama. Dilihat dari pemerataan akses, SD Impres yang dibangun secara melauas di seluruh nusantara telah memberikan kesempatan pendidikan yang merata. Jika pada akhir Pelita I 1969/1970 persentase anak usia 7-12 tahun yang bersekolah hanya sebesar 41,4%, maka sampai akhir Pelita V, angka partisipasi tersebut telah mencapai 93,49%. Hal tersebut merupakan suatu keberhasilan yang cukup menggembirakan, bahkan pada saat itu dianggap sebagai hasil yang monumental. Namun krisis yang berkempanjangan telah mengembalikan kondisi tersebut pada titik awal, bahkan lebih parah lagi, karena banyak anak-anak yang lebih suka turun ke jalan dari pada bersekolah dengan biaya mahal. Krisis yang berkempanjangan telah menurunkan kemampuan orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan bawah, yang berdampak meningkatnya jumlah angka putus sekolah. Padahal mereka juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pemerintah wajib mengupayakannya.
Kebijakan relevansi Pendidikan dititikberatkan pada keterkaitan dan kesepadanan antara materi yang di ajarkan di sekolah dengan kondisi dan kebutuhan lapangan. Perhatian terhadap masalah relevansi mulai nampak sejak digunakannya kurikulum 1984 dengan muatan lokal yang disispkan pada berbagai bidang study yang sesuai, dan hal ini lebih diintensifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum ini muatan lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang study, tetapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib maupun pilihan. Pengembangan kurikulum muatan lokal dimaksudkan terutama untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan pengembangan kurikulum sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan Nasional maupun pembangunan setempat, sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya.
Dalam Implementasi kurikulum 2004 selain melalui mata pelajaran muatan lokal, keterkaitan ini lebih ditekannkan lagi dengan pendekatan kompetensi (kurikulum berbasis kompetensi), melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sejalan dengan kebijakan sentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Melalui komptensi Dasar yang pengembangannya dilakukan oleh daerah dan sekolah, diharapkan peserta didik dapat menerapkan hasil pendidikan secara langsung untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas masyarakat, serta memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna.
Pemberian otonomi yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian Otonom ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada disekolah.
Kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam upaya dan pengembangan pendidikan di sekolah dasar, pemerintah mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah, sehingga beberapa sekolah yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus (3 sampai 8 sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti, dan lainnya meruapakan SD imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan dengan mengguanakan prinsip whole school development, yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah. Sedikitnya terdapat lima komponen yang diperhatikan, yaitu kegiatan pembelajaran, manajemen, buku dan sarana belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta partisipasi masyarakat, yang semuanya belum dapat dilakukan secara optimal.
Sejalan dengan urian diatas, berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dilakukan melalui berbagai pelatihan; seperti pelatihan model pembelajaran, pelatihan pembuatan alat peraga, pelatihan pengembangan silabus dan pelatihan pembuatan materi standar. Pembinaan dan pengembangan lain untuk mendukung pembelajaran yang efektif juga dilaksanakan, seperti manajemen kelas, manajemen sekolah, manajemen gugus, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Untuk sekolah-sekolah yang kurang terlayani (underserved schools), dilakukan pemberian bantuan khusus dalam rangka peningkatan kegiatan pembelajaran. Bahkan, untuk meningkatkan peluang peserta didik mengikuti pembelajaran secara optimal di sekolah, diadakan program "Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMT-AS), meskipun dalam pelaksanaannya masih dihadapi berbagai kendala, terutama berkaitan dengan model pelaksanaan berbentuk proyek, yang sering hanya menghambur-hamburkan dana, yang diperparah oleh sikap mental para pelaksananya. Upaya lain yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Bantuan ini berbentuk hibah yang langsung diberikan ke sekolah melalui rekening sekolah.
Dalam sistem pendidikan dan pengajaran peranan guru sangatlah strategis dalam upaya menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang hendak dicapai. Raka Joni dalam Seniawan dan Soedijarto, (1991 : 119) mengatakan, "secara makro tugas guru berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa". Lebih-lebih jika peranan guru dikaitkan dengan jenjang pendidikan dasar maka kita akan melihat betapa seorang guru akan menjadi faktor yang sangat penting dan strategis dalam meletakan fondasi bagi pengembangan sumber daya manusia, karena jenjang yang Iebih tinggi pada dasarnya akan mudah dikelola jika fondasi dasar siswa sudah kuat.
Menurut Sudjana (1989 : 1) "kurikulum diuntukan bagi siswa, melalui guru yang secara nyata memberi pengaruh kepada siswa pada saat terjadinya proses pengajaran". Mengingat peranan guru yang sentral dalam proses belajar mengajar, dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di sekolah itu sangat ditentukan oleh kualitas kemampuan guru, meskipun ada faktor lain yang terkait. Konsekuensinya, apabila kualitas proses pendidikan pada suatu jenjang pendidikan ditingkatkan maka kualitas kemampuan guru perlu ditingkatkan pula. Demikian juga sebaliknya, apabila kualitas pendidikan itu disinyalir kurang sesuai dengan harapan masyarakat, tentu yang lebih dulu mendapat tudingan adalah guru. Bahkan Natawidjaja (1992 : 11) mengungkapkan bahwa kritikan masyarakat terhadap kualitas guru yang tidak memadai dalam menyesuaikan dirinya terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam bidang pendidikan. Mewujudkan sosok pribadi guru yang sesuai dengan harapan masyarakat, dalam arti dapat berperan sebagai pendidik dan pengajar bukanlah pekerjaan yang mudah, akan merupakan pekerjaan yang sulit dan teramat sulit sudah barang tentu hal ini terkait dengan sejumlah aspek, baik yang melekat pada pribadi guru seperti aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Disamping hal-hal diluar guru seperti : Kurikukulum, sarana belajar, organisasi sekolah dan lainnya.
Mengingat demikian strategisnya peranan seorang guru dalam menghantarkan tujuan pendidikan, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesional. Hal ini ditegaskan oleh Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang perang yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga mempakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan, maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa penting nya untuk meningkatkan aktivitas, kreativitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena disini guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah. Simon dan Alexander (1980) telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang, dan menunjukkan adanya dua kunci penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didik; yaitu : jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru.. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki standar kemampuan profesional untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas.
Mulyasa (2008 : 13-14) mengatakan kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses guru dikatakan berahasil apabila mampu melibatkan sebagia besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Disamping itu, dapat dilihat dari gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik. Untuk memenuhi tuntutan tersebut diperlukan berbagai kompetensi pembelajaran.
Pengembangan kualitas guru merupakan suatu proses yang kompleks, dan melibatkan berbagai faktor yang saling terkait. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tidak hanya menuntut keterampilan teknik dari para ahli terhadap pengembangan kompetensi guru, tetapi harus pula dipahami berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru dalam mengembangkan berbagai aspek pendidikan dan pembelajaran. Hal tersebut lebih terfokus lagi dalam implementasi kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, dengan manajemen berbasis sekolah, dalam konteks desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah. Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara benar dan transparan dapat meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam pelaksanaan berbagai kebijakan diatas, guru dituntut untuk menjadi ahli penyebar informasi yang baik, karena tugas utamanya antara lain menyampaikan informasi kepada peserta didik. Guru juga berperan sebagai perencana (designer), pelaksana (implementer), dan penilai (evaluator) pembelajaran. Apabila pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi para peserta didik dengan penyediaan ilmu yang tepat dan latihan keterampilan yang mereka perlukan, haruslah ada ketergantungan terhadap materi standar yang efektif dan terorganisasi. Untuk itu diperlukan peran baru dari para guru, mereka dituntut memiliki keterampilan-keterampilan teknis yang memungkinkan untuk mengorganisasikan materi standar serta mengelolanya dalam pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik.
Dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, guru terutama berperan dalam mengembangkan materi standar dan membentuk kompetensi peserta didik. Sehubungan dengan itu, guru harus kreatif, profesional, dan menyenangkan. Guru harus kreatif dalam memilah dan memilih, serta mengembangkan materi standar sebagai bahan untuk membentuk kompetensi peserta didik. Guru harus profesional dalam membentuk kompetensi peserta didik sesuai dengan karakteristik individual masing-masing. Guru juga harus menyenangkan, tidak saja bagi peserta didik, tetapi juga bagi dirinya. Artinya, belajar dan pembelajaran harus menjadi makanan pokok guru sehari-hari, harus dicintai, agar dapat membentuk dan membangkitkan rasa cinta dan nafsu belajar peserta didik. Dalam kondisi dan perubahan yang bagaimanapun dahsyatnya, guru harus tetap guru; jangan terpengaruh oleh isu, dan jangan bertindak terburu-buru.
Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesinya secara layak dan bertanggungjawab (Usman : 1999 : 14). Sejalan dengan hal tersebut. Dahlan dalam makalah bahan diskusi Pelatihan Pengelolaan Madrasah Aliyah Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI tanggal 14-31 Mei 2000 di Griya Astuti Cisarua Bogor, mengungkapkan setidaknya ada sepuluh standar kemampuan dasar guru yaitu :
1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.
2. Pengelolaan program belajar mengajar
3. Pengelolaan Kelas
4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran
5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan
6. Pengelolaan interaksi belajar mengajar.
7. Penilaian prestasi siswa
8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan
9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10.Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
Standar kemampuan guru tersebut adalah merupakan modal yang penting dalam upaya melakukan proses pembelajaran yang mendukung bagi tercapainya tujuan yang ditetapkan. Kompotensi Guru yang dimilikinya sebagai pengembang kurikulum di sekolah sudah barang tentu ini merupakan modal penting dalam menciptakan situasi edukatif yang kondusif, sehingga diharapkan dengan modal kompetensi guru yang memadai siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Sebaliknya jika kompetensi guru sangat lemah dalam mengelola sistem kependidikan maka meskipun fasilitas di sekolah serba ada sangat sulit diharapkan hasil pendidikan tersebut dapat mecapai tujuan yang optimal. Bahkan dalam surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 26 tahun 1989 tentang angka kredit bagi jabatan guru dalam lingkungan Depdiknas, guru dituntut untuk senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya baik secara individu maupun secara bersama-sama. Lebih lanjut PP nomor 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan, fasal 31 mengungkapkan bahwa : Tenaga kepndidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa. Sukadi (2006), Tugas dan Peran Guru, mempakan suatu proses yang meliputi : mendidik, mengajar, dan melatih peserta didik. Mendidik berarti menemskan dan mengembangkan nilai-nikai hidup (efektif). Mengajar berarti menemskan dan mengembangkan Ilmu pengetahuan dan teknologi (kognitif), Adapun melatih berarti mengembangkan keterampilan para siswa (psikomotor).
Ketiga tugas guru tersebut harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dan tidak terpisah-pisah. Artinya, dalam melaksanakan tugas mengajar, seorang guru tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kehidupan dan keterampilan. Mereka mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak mengesampingkan niali-nilai penggunaan Ilmu dan teknologi tersebut. Demikian pula dalam melatih para siswa, seorang guru tidak bisa mengabaikan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Untuk melaksanakan ketiga tugas pokok tersebut, seorang guru dituntut mempunyai beberapa kemampuan sebagai berikut :
1. Berwawasan luas, menguasasi bidang ilmunya, dan mampu mentransfer serta menerangkan kembali kepada siswa
2. Mempunyai sikap dan tingkah laku (kepribadian) yang patut diteladani sesuai dengan nilai-nilai kehidupan (values) yang dianut masyarakat dan bangsa
3. Memiliki keterampilan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya
Peningkatan kualitas guru menuju kemampuan profesional guru adalah merupakan perwujudan dari upaya .meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Guru merupakan sosok manusia yang diberi amanat untuk membimbing dan mengarahkan generasi bangsa yang akan datang. Guru yang berkualitas dalam kinerjanya akan dapat mencerminkan nasib bangsa dan negara yang akan datang. Hal ini dengan asumsi bahwa jabatan apapun atau pekerjaan apapun pasti melalui proses pendidikan dan orang yang melakukan proses tersebut pasti selalu beriringan dengan sosok guru, karena kualitas pembelajaran akan berjalan dengan balk apabila guru mampu melakukannya.
Fenomena di lapangan menunjukan bahwa masih terdapat anggapan bahwa untuk menjadi guru, yang penting memiliki kemauan persoalan kemampuan pada gilirannya akan mengikuti. Anggapan tersebut sudah barang tentu kurang kondusif bagi pembinaan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas, peran dan fungsinya dalam menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang dikehendaki.
Ace Suryadi dari Balitbang Depdiknas yang dikutif oleh Usman (2001) menyatakan bahwa :
"Berbagai temuan penelitian menunjukan beberapa kekhawatiran jika guru-guru kita ternyata belum sepenuhnya menguasai kemampuan profesinya. Berdasarkan salah satu penelitian, penguasaan guru terhadap mata pelajaran memang masih berada di bawah standar yang diharapkan. Oleh karena itu maka tidaklah mengherankan jika guru belum dapat melaksanakan pekerjaannya secara profesional".
Sudah barang tentu guru yang masih Iemah kompetensi professionalnya akan sulit diharapkan tujuan pendidikan nasional akan tercapai. Sebagaimana tercantum dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Membicarakan perbaikan kurikulum, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sampai kepada Kriteria sumberdaya manusia yang diinginkan oleh usaha pendidikan maka semua pasti bermuara pada kualitas guru (Muhibinsyah, 1995 : 224). Dengan demikian maka dapat ditarik benang merah betapa urgennya posisi guru dalam dunia pendidikan.
Peran guru dalam mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas posisinya sangat menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembelajaran. Sukmadinata (1988 : 212) mengemukakan bahwa :
"Official curriculum merupakan kurikulum nyata yang dilaksanakan oleh sekolah atau kelas, suatu "reality". Kurikulum nyata atau actual curriculum merupakan implementasi dari official curriculum oleh guru di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), tetapi hasilnya sangat bergantung pada upaya yang dilakukan oleh guru dan juga murid dalam kelas (actual). Dengan demikian guru memegang peranan penting baik di dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum".
Kurikulum dapat dipahami, tidak hanya dokumen tertulis akan tetapi sebagai sebuah rencana pelajaran didalam ruangan kelas, dalam hal ini Beauchamp (1968 : 6) mengungkapkan bahwa "a curriculum is written document wich may contain many ingredients, but basically it is a plan for education of pupils during their enrollment in given school". Dengan demikian implementasi kurikulum dapat dikembangkan oleh guru dalam ruangan kelas sesuai dengan keadaan dan kebutuhan siswa atau peserta belajar.
Dengan demikian kinerja profesional dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum , dalam hal ini merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum di kelas yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Sejalan dengan hal tersebut Johnson (1978) Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, suatu kompetensi ditunjukan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggung jawabkan (rasional) dalam upaya mencapai suatu tujuan.
Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
Kompetensi Pribadi, guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus di-gugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya :
a. Kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya.
b. Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama.
c. Kemampuan untuk berprilaku sesuai dengan norma, antara dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat
d. Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya, sopan santun dan tata krama
e. Bersifat demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.
Kompetensi Profesional, adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan yang sangat penting, oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu , tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini di antaranya :
a. Kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, tujuan instmksional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran
b. Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan misalnya, paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar, dan lain sebagainya.
c. Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya.
d. Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran
e. Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar.
f. Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
g. Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran.
h. Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya, paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
i. Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
Kompetensi Sosial Kemasyarakatan. Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, yang meliputi :
a. Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomonikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional.
b. Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan.
c. Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok
Guru sebagai pengembang kurikulum dalam tulisan ini dipahami dalam pengertian mikro, yaitu mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas. Sejalan dengan hal ini Kusnandar (2007 : 42-43), ada beberapa paradigma baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini adalah sebagai berikut :
1. Tidak terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memperdayakan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas datang, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangkan potensi diri secara maksimal
2. Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model Pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan motivasi belajar peserta didik. Guru harus menguasai berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan.
3. Dominasi guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar-mengajar
4. Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi
5. Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu prefesi yang menyenangkan 6. Guru mengikuti perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini
7. Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi
8. Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik.
Beberapa hal tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa pada dasarnya peranan guru dalam ruangan kelas adalah merupakan hubungan antar pribadi. Dalam hal ini pula menunjukan bahwa proses belajar mengajar bukan hanya sekedar kegiatan instruksional akan tetapi juga merupakan perilaku guru yang secara utuh diserap oleh siswa.
Dengan demikian, guru dituntut selalu inovatif, kreatif, dan mampu mengimplementasikan sepuluh standar kemampuan dasar dalam upaya menghantarkan tujuan pendidikan secara optimal. Salah satunya melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar dengan pola komoniakasi multi trafic (multi trafic communication). Dalam pola komunikasi multi trafic ini, komonikasi terjadi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.
Dengan pola komonikasi seperti ini, antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa lainnya terjadi pertukaran (sharing) pengetahuan dan pengalaman sehingga proses belajar mengajar lebih bermakna.
Untuk menciptakan pola semacam ini, guru harus memiliki beberapa keterampilan sebagai berikut :
- Memiliki keterampilan bertanya yang meliputi : pertanyaan menggiring, pertanyaan untuk merangsang siswa berfikir dan mengemukakan gagasan, pertanyaan mengarahkan, dan pertanyaan yang bersifat mengendalikan arus komunikasi.
- Memiliki keterampilan memberikan reward dan bentuk-bentuk penghargaan atas pendapat, gagasan, dan pertanyaan siswa.
- Terampil dan memilih dan mempergunakan metode dan media pembelajaran yang mendukung terjadinya pola komonikasi multi trafic.
- Memiliki keterampilan memilih dan menyampaikan permasalahan yang dapat merangsang siswa mau berpikir dan melibatkan emosi dalam pembelajaran
- Memahami dan mampu menerapkan pola pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dengan segenap metode dan media yang mendukungnya.
Selain dengan cara-cara tersebut, keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dapat dirangsang dengan cara sebagai berikut :
- Memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk mengemukakan ide, gagasan, pendapat, komentar, saran, dan kritik yang membangun.
- Menciptakan suasana belajar mengajar yang terbuka (fair) dalam batas-batas yang wajar dan etis.
- Memberikan penghargaan atas keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dengan cara memberikan nilai tambah.
- Membangun rasa percaya diri siswa dihadapan teman-temannya.
- Mengurangi dominasi guru dalam proses pembelajaran.
Berangkat dari pemikiran diatas, maka terdapat suatu perkembangan di MTsN X Kota X menyangkut kinerja professional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum. Hal ini mengingat tiga Tahun terakhir MTsN X mengalami peningkatan UAN yang sangat signifikan. Selain itu juga guru MTsN tersebut tidak mengandalkan kewajibannya sebagai pengajar tetapi juga selalu melakukan mengayaan atau proses pembelajaran tambahan (Less).
Mengingat begitu pentingnya peningkatan kompetensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum khususnya dalam dimensi kegiatan, maka hal inilah yang menjadi landasan berfikir penulis untuk melakukan penelitian tentang kompentensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Kinerja professional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa guru adalah merupakan jabatan professional. Kinerja yang dimaksudkan disini adalah "performance yang berarti "the execution of an action". Wolf, (1997 : 851) dengan demikian kinerja di sini berarti pelaksanaan suatu kegiatan. Kinerja juga dapat diartikan sebagai penampilan kerja atau perilaku kerja yang mencerminkan hasil atau out put dari suatu proses
Pada dasarnya kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti; pendidik, terdidik, kurikulum dan lingkungan. Faktor faktor tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan tidak bisa berdiri sendiri. Namun demikian pada penelitian ini penulis membatasi diri pada faktor guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Dalam pandangan Sudjana (1989 : 1) guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungannya dengan pengembangan kurikulum di sekolah. Dia harus mampu menterjemahkan, menjabarkan dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada anak didik melalui proses belajar mengajar. Dengan demikian dalam mengimplementasikan kurikulum yang ada di sekolah hendaknya guru tidak hanya sekedar melakukan proses pengajaran akan tetapi harus berupaya mengorientasikan bagaimana membuat siswa belajar. Guru sebagai pengembang kurikulum dipahami sebagai seorang yang senantiasa menciptakan situasi kelas yang kondusif serta mengembangkan segala sarana dan fasilitas yang ada menjadi bahan ajar yang efektif efisien serta terus menerus melakukan inovasi dalam mengembangkan materi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa serta berupaya untuk melakukan metode pengajaran yang bervariasi, sehingga siswa tidak merasa jenuh mengikuti proses belajar mengajar.
Berangkat dari hal tersebut, maka inti permasalahan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana kinerja profesional Guru sebagai Pengembang kurikulum dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya ?
C. Pertanyan Penelitian
Berdasarkan inti permasalahan dalam penelitian, maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja profesional guru dalam :
a. Perencanaan pembelajaran ?
b. Pelaksanaaan pembelajaran ?
c. Evaluasi pembelajaran ?
2. Apa saja yang mempengaruhi kinerja profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum ?
3. Bagaimana hubungan kinerja guru dan hasil belajar siswa ?
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menemukan 2 manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat teoritis.
Guru profesional sudah terbentang dalam UU No. 14/2005 tentang Guru & Dosen. Pda Bab 1 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama (pokok) mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan pada Bab 1 pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Guru profesional, adalah guru memegang peranan penting terhadap keberhasilan implementasi kurikulum KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksanakan kurikulum di dalam kelas. Gurulah gerda terdepan dalam implementasi kurikulum. Guru adalah kurikulum berjalan. Sebaik apa pun kurikulum dan sistim pendidikan yang ada, tanpa didukung mutu guru yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia. Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di bidang kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan peningkatan mutu guru, semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang dinginkan (Kusnandar, Kompas, 2 Oktober 2006)
Oleh karena itu, keberadaan guru yang profesional tidak bisa ditawar-tawar lagi. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dapat menunjang tugasnya. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi soaial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU nomor 14 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 2).
Pandangan yang dikembangkan oleh Havighurst (peneliti Amerika serikat) dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yang dimaksud adalah tugas yang secara nyata harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sesuai dengan tingkat perkembangan yang dituntut oleh lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya anak/individu tersebut akan mengalami masalah. Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang sederhana menuju kearah yang lebih kompleks
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap perkembangan kurikulum pendidikan Indonesia. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaannya. Impilikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
- Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya
- Disamping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak disekolah, disediakan pula pelajaran-pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak
- Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak-anak yang berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi kejenjang pendidikan berikutnya
- Kurikulum menurut tujuanya mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
Teori Yang dikemukakan para ahli tokoh pendidikan ini diharapkan menjadi bahan kajian lebih lanjut dalam pengembangan kompetensi professional guru guna melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum yang pada gilirannya diharapkan dapat menuju pelaksanaan proses belajar mengajar yang optimal.
2. Manfaat praktis.
Setelah penelitian ini selesai diharapkan dapat memberikan sumbangan yang kongkrit bagi upaya peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan pada tingkat dasar, terutama kualitas guru dalam mengembangkan kurikulum di sekolah.
Secara spesifik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Kepala sekolah
Dengan mengungkapkan data empiris diharapkan kepala sekolah dapat membuat rencana dan strategi pengembangan sistem pendidikan yang sesuai dengan keadaan dan kemampuan lingkungan sekolahnya, baik yang menyangkut sistem rekruitmen guru maupun upaya berkelanjutan dalam memberdayakan dan meningkatkan kinerja guru.
b. Guru.
Guru yang merupakan ujung tombak dalam upaya menghantarkan tujuan pendidikan diharapkan selalu berupaya meningkatkan kualitas profesinya dengan terus melakukan introspeksi baik yang menyangkut kualitas teknis maupun kualitas sosial. Sehingga ferformance guru akan sesuai dengan tuntutan profesinya.
c. Siswa
Siswa yang merupakan subyek dan obyek pendidikan akan memperoleh pelayanan pembelajaran yang optimal. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika kinerja guru dapat dilaksanakan secara baik maka pelayanan kepada siswa pun akan menjadi baik.
d. Bagi Departemen Agama hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan bahan-bahan untuk kemudian dipertimbangkan dalam mengola dan mengambil kebijakan pendidikan khususnya yang berhubungan upaya meningkatkan profesionalisme guru
e. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan literature pensinkronan masalah yang akan diteliti berkaitan dengan kinerja profesinal guru.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni : (1) sarana gedung, (2) buku yang berkualitas, (3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional. Demikian yang diungkapkan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancaranya dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tanggal 16 Agustus 2004. Dalam pada itu, dikemukakan bahwa "hanya 43% guru yang memenuhi syarat"; artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional. Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan. Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.
Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Mastarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Bangsa Indonesia bisa merdeka juga tidak terlepas dari peran pendidikan. Para pahlawan Pendidikan, seperti Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Mereka merintis pendidikan Nasional dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, dan secara bertahap meningkatkan pemahaman, kesadaran, serta kecerdasan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bangsa yang merdeka, dan berdaulat seperti sekarang ini.
Menyadari hal tersebut, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan, bangsa ini membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain didunia, bahkan dalam era kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai, dan sejahtera.
Persoalannya, pendidikan yang harus dikembangkan untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan, agar dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap dari negara lain, adalah pendidikan yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki visi, transparansi, dan pandangan jauh kedepan; yang tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut, sekarang banyak diabaikan, bahkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain; dari empat puluh tiga Negara, hampir dalam seluruh bidang kehidupan Indonesia berada urutan sepuluh terakhir. Index pengembangan sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 174 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 diantara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 diantara 47 negara pada tahun 2001. Sementara itu, hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post (3 september 2001) menunjukkan betapa rendahnya kualitas Pendidikan Indonesia disbanding Negara lain di Asia, bahkan berada dibawah Vietnam. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan HDI (Human Development Index) dan tingkat persaingan, perlu strategi perencanaan pembangunan pendidikan yang tepat dalam upaya mengembangkan SDM berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersanding dan bersaing dalam era globalisasi yang sedang kita masuki.
Tilaar (1994) mengemukakan tujuh masalah pokok sistem pendidikan Nasional yaitu :
- Menurunnya akhlak dan moral peserta didik
- Pemerataan kesempatan belajar
- Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan
- Status kelembagaan
- Manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan
- Sumber daya yang belum profesional
Menghadapi hal tersebut diatas, perlu dilakukan penataan sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Pendidikan juga harus lebih mengedepankan kreativitas (creativity quotient) untuk menumbuhkan kemandirian dan aspek kewirausahaan dalam pribadi peserta didik.
Dalam kaitannya kondisi masyarakat, dapat disaksikan bahwa percepatan arus informasi, dan globalisasi telah mempengaruhi berbagai sendi kehidupan, bahkan telah mengikis nilai-nilai spritual, sehingga membuat masyarakat kehilangan identitas, serta terasing dari diri, lingkungan, dan nilai-nilai moral yang dianutnya. Disini, pendidikan dihadapkan pada masalah yang sangat mendasar. Disatu sisi, dituntut mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, agar menjadi wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Disisi lain, kondisi masyarakat yang sedang sakit dan media massa yang sering menayangkan berbagai suasana kurang sehat, tidak menunjang terhadap pembentukan kualitas SDM yang diharapkan; bahkan akhir-akhir ini banyak tayangan media yang merupakan pembodohan massa, banyak program Televisi dan CD yang tidak sesuai dengan usia peserta didik padahal diperuntukkan bagi mereka, tidak sedikit tayangan yang bertentangan dengan ajaran agama, dan banyak pula program-program yang menyesatkan. Ini adalah tantangan berat terutama bagi perkembangan dunia pendidikan.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Soedijarto (1999) mendiagnosis berbagai faktor dan memberikan rekomendasi bagi pembaruan pendidikan yang relevan dengan tuntutan pembangunan, yang intinya berkesimpulan bahwa :
1) Pelaksanaan pendidikan belum secara terencana dan sistematik diperdayakan untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan pendidikan Nasional secara optimal
2) Pendidikan Nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasasi oleh IPTEK dan persaingan global belum sepenuhnya terlaksana
3) Pendidikan Nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditi yang mutunya mampu bersaiang dan mampu mengembangkan sistem perdagangan.
4) Pendidikan Nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan Indonesia yang Religius, berakhlak, berwatak ksatria dan patriotik.
5) Agar pendidikan Nasional benar-benar mampu melaksanakan fungsinya dan mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, perlu dikembangkan dan dilaksanakan program pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang dapat berfungsi sebagai lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, sikap dan akhlak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur serta demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Memahami uraian tersebut, diperlukan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (continuous quality inprovement). Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan Pendidikan tersebut telah digariskan pula dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu : (1) peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan, (2) relevansi pendidikan dengan pembangunan, (3) kualitas pendidikan, dan (4) efisiensi pengolahan pendidikan. Strategi tersebut jika dilaksanakan secara proposional dan profesional, maka akan dapat menyelesaikan berbagai masalah pendidikan. Paling tidak dapat mendekatkan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungannya.
Kebijakan dalam bidang pemerataan misalnya, dimaksudkan agar semua warga negara Indonesia memperoleh kesempatan yang sama untuk mengenyam dan mengikuti pendidikan yang berkualitas. Idealnya, warga negara yang tinggal di pedalaman dan daerah terpencil bisa memperoleh pendidikan gratis yang berkualitas seperti saudaranya yang ada di kota. Demikian halnya, warga negara yang miskin harus mendapatkan pendidikan yang sama kualitasnya dengan mereka yang kaya, sehingga pendidikan berkualiatas menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan kebijakan pemerataan pendidikan ini pada awalnya menunjukkan hasil yang cukup lumayan, seperti gerakan wajib belajar enam tahun yang dimulai pada tahun 1984, pada tahun 1994 diperluas menjadi sembilan tahun, dengan harapan semua warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan minimal setara dengan tamatan Sekolah Lnjutan Tingkat Pertama. Dilihat dari pemerataan akses, SD Impres yang dibangun secara melauas di seluruh nusantara telah memberikan kesempatan pendidikan yang merata. Jika pada akhir Pelita I 1969/1970 persentase anak usia 7-12 tahun yang bersekolah hanya sebesar 41,4%, maka sampai akhir Pelita V, angka partisipasi tersebut telah mencapai 93,49%. Hal tersebut merupakan suatu keberhasilan yang cukup menggembirakan, bahkan pada saat itu dianggap sebagai hasil yang monumental. Namun krisis yang berkempanjangan telah mengembalikan kondisi tersebut pada titik awal, bahkan lebih parah lagi, karena banyak anak-anak yang lebih suka turun ke jalan dari pada bersekolah dengan biaya mahal. Krisis yang berkempanjangan telah menurunkan kemampuan orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya, terutama pada masyarakat lapisan bawah, yang berdampak meningkatnya jumlah angka putus sekolah. Padahal mereka juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pemerintah wajib mengupayakannya.
Kebijakan relevansi Pendidikan dititikberatkan pada keterkaitan dan kesepadanan antara materi yang di ajarkan di sekolah dengan kondisi dan kebutuhan lapangan. Perhatian terhadap masalah relevansi mulai nampak sejak digunakannya kurikulum 1984 dengan muatan lokal yang disispkan pada berbagai bidang study yang sesuai, dan hal ini lebih diintensifkan lagi pelaksanaannya dalam kurikulum 1994. Dalam kurikulum ini muatan lokal tidak lagi disisipkan pada setiap bidang study, tetapi menggunakan pendekatan monolitik berupa bidang studi, baik bidang studi wajib maupun pilihan. Pengembangan kurikulum muatan lokal dimaksudkan terutama untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan pengembangan kurikulum sentralisasi, dan bertujuan agar peserta didik mencintai dan mengenal lingkungannya, serta mau dan mampu melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan Nasional maupun pembangunan setempat, sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar sosial budaya lingkungannya.
Dalam Implementasi kurikulum 2004 selain melalui mata pelajaran muatan lokal, keterkaitan ini lebih ditekannkan lagi dengan pendekatan kompetensi (kurikulum berbasis kompetensi), melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sejalan dengan kebijakan sentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Melalui komptensi Dasar yang pengembangannya dilakukan oleh daerah dan sekolah, diharapkan peserta didik dapat menerapkan hasil pendidikan secara langsung untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas masyarakat, serta memecahkan berbagai persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik, melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif, efisien, dan berhasil guna.
Pemberian otonomi yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian Otonom ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada disekolah.
Kebijakan dalam peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Dalam upaya dan pengembangan pendidikan di sekolah dasar, pemerintah mengembangkan suatu sistem pembinaan yang dikenal Sistem Pembinaan Profesional (SPP). Sistem ini dilaksanakan dengan pendekatan gugus sekolah, sehingga beberapa sekolah yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus (3 sampai 8 sekolah). Satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti, dan lainnya meruapakan SD imbas. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan dengan mengguanakan prinsip whole school development, yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah. Sedikitnya terdapat lima komponen yang diperhatikan, yaitu kegiatan pembelajaran, manajemen, buku dan sarana belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta partisipasi masyarakat, yang semuanya belum dapat dilakukan secara optimal.
Sejalan dengan urian diatas, berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dilakukan melalui berbagai pelatihan; seperti pelatihan model pembelajaran, pelatihan pembuatan alat peraga, pelatihan pengembangan silabus dan pelatihan pembuatan materi standar. Pembinaan dan pengembangan lain untuk mendukung pembelajaran yang efektif juga dilaksanakan, seperti manajemen kelas, manajemen sekolah, manajemen gugus, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Untuk sekolah-sekolah yang kurang terlayani (underserved schools), dilakukan pemberian bantuan khusus dalam rangka peningkatan kegiatan pembelajaran. Bahkan, untuk meningkatkan peluang peserta didik mengikuti pembelajaran secara optimal di sekolah, diadakan program "Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah (PMT-AS), meskipun dalam pelaksanaannya masih dihadapi berbagai kendala, terutama berkaitan dengan model pelaksanaan berbentuk proyek, yang sering hanya menghambur-hamburkan dana, yang diperparah oleh sikap mental para pelaksananya. Upaya lain yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Bantuan ini berbentuk hibah yang langsung diberikan ke sekolah melalui rekening sekolah.
Dalam sistem pendidikan dan pengajaran peranan guru sangatlah strategis dalam upaya menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang hendak dicapai. Raka Joni dalam Seniawan dan Soedijarto, (1991 : 119) mengatakan, "secara makro tugas guru berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa". Lebih-lebih jika peranan guru dikaitkan dengan jenjang pendidikan dasar maka kita akan melihat betapa seorang guru akan menjadi faktor yang sangat penting dan strategis dalam meletakan fondasi bagi pengembangan sumber daya manusia, karena jenjang yang Iebih tinggi pada dasarnya akan mudah dikelola jika fondasi dasar siswa sudah kuat.
Menurut Sudjana (1989 : 1) "kurikulum diuntukan bagi siswa, melalui guru yang secara nyata memberi pengaruh kepada siswa pada saat terjadinya proses pengajaran". Mengingat peranan guru yang sentral dalam proses belajar mengajar, dapat dikatakan bahwa kualitas pendidikan di sekolah itu sangat ditentukan oleh kualitas kemampuan guru, meskipun ada faktor lain yang terkait. Konsekuensinya, apabila kualitas proses pendidikan pada suatu jenjang pendidikan ditingkatkan maka kualitas kemampuan guru perlu ditingkatkan pula. Demikian juga sebaliknya, apabila kualitas pendidikan itu disinyalir kurang sesuai dengan harapan masyarakat, tentu yang lebih dulu mendapat tudingan adalah guru. Bahkan Natawidjaja (1992 : 11) mengungkapkan bahwa kritikan masyarakat terhadap kualitas guru yang tidak memadai dalam menyesuaikan dirinya terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam bidang pendidikan. Mewujudkan sosok pribadi guru yang sesuai dengan harapan masyarakat, dalam arti dapat berperan sebagai pendidik dan pengajar bukanlah pekerjaan yang mudah, akan merupakan pekerjaan yang sulit dan teramat sulit sudah barang tentu hal ini terkait dengan sejumlah aspek, baik yang melekat pada pribadi guru seperti aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Disamping hal-hal diluar guru seperti : Kurikukulum, sarana belajar, organisasi sekolah dan lainnya.
Mengingat demikian strategisnya peranan seorang guru dalam menghantarkan tujuan pendidikan, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesional. Hal ini ditegaskan oleh Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang perang yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga mempakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan, maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa penting nya untuk meningkatkan aktivitas, kreativitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena disini guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah. Simon dan Alexander (1980) telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di negara-negara berkembang, dan menunjukkan adanya dua kunci penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didik; yaitu : jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas, dan kualitas kemampuan guru.. Dalam hal ini, guru hendaknya memiliki standar kemampuan profesional untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas.
Mulyasa (2008 : 13-14) mengatakan kualitas guru dapat ditinjau dari dua segi, dari segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses guru dikatakan berahasil apabila mampu melibatkan sebagia besar peserta didik secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Disamping itu, dapat dilihat dari gairah dan semangat mengajarnya, serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik ke arah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik. Untuk memenuhi tuntutan tersebut diperlukan berbagai kompetensi pembelajaran.
Pengembangan kualitas guru merupakan suatu proses yang kompleks, dan melibatkan berbagai faktor yang saling terkait. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tidak hanya menuntut keterampilan teknik dari para ahli terhadap pengembangan kompetensi guru, tetapi harus pula dipahami berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru dalam mengembangkan berbagai aspek pendidikan dan pembelajaran. Hal tersebut lebih terfokus lagi dalam implementasi kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, dengan manajemen berbasis sekolah, dalam konteks desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah. Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara benar dan transparan dapat meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam pelaksanaan berbagai kebijakan diatas, guru dituntut untuk menjadi ahli penyebar informasi yang baik, karena tugas utamanya antara lain menyampaikan informasi kepada peserta didik. Guru juga berperan sebagai perencana (designer), pelaksana (implementer), dan penilai (evaluator) pembelajaran. Apabila pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi para peserta didik dengan penyediaan ilmu yang tepat dan latihan keterampilan yang mereka perlukan, haruslah ada ketergantungan terhadap materi standar yang efektif dan terorganisasi. Untuk itu diperlukan peran baru dari para guru, mereka dituntut memiliki keterampilan-keterampilan teknis yang memungkinkan untuk mengorganisasikan materi standar serta mengelolanya dalam pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik.
Dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, guru terutama berperan dalam mengembangkan materi standar dan membentuk kompetensi peserta didik. Sehubungan dengan itu, guru harus kreatif, profesional, dan menyenangkan. Guru harus kreatif dalam memilah dan memilih, serta mengembangkan materi standar sebagai bahan untuk membentuk kompetensi peserta didik. Guru harus profesional dalam membentuk kompetensi peserta didik sesuai dengan karakteristik individual masing-masing. Guru juga harus menyenangkan, tidak saja bagi peserta didik, tetapi juga bagi dirinya. Artinya, belajar dan pembelajaran harus menjadi makanan pokok guru sehari-hari, harus dicintai, agar dapat membentuk dan membangkitkan rasa cinta dan nafsu belajar peserta didik. Dalam kondisi dan perubahan yang bagaimanapun dahsyatnya, guru harus tetap guru; jangan terpengaruh oleh isu, dan jangan bertindak terburu-buru.
Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesinya secara layak dan bertanggungjawab (Usman : 1999 : 14). Sejalan dengan hal tersebut. Dahlan dalam makalah bahan diskusi Pelatihan Pengelolaan Madrasah Aliyah Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI tanggal 14-31 Mei 2000 di Griya Astuti Cisarua Bogor, mengungkapkan setidaknya ada sepuluh standar kemampuan dasar guru yaitu :
1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.
2. Pengelolaan program belajar mengajar
3. Pengelolaan Kelas
4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran
5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan
6. Pengelolaan interaksi belajar mengajar.
7. Penilaian prestasi siswa
8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan
9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10.Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
Standar kemampuan guru tersebut adalah merupakan modal yang penting dalam upaya melakukan proses pembelajaran yang mendukung bagi tercapainya tujuan yang ditetapkan. Kompotensi Guru yang dimilikinya sebagai pengembang kurikulum di sekolah sudah barang tentu ini merupakan modal penting dalam menciptakan situasi edukatif yang kondusif, sehingga diharapkan dengan modal kompetensi guru yang memadai siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Sebaliknya jika kompetensi guru sangat lemah dalam mengelola sistem kependidikan maka meskipun fasilitas di sekolah serba ada sangat sulit diharapkan hasil pendidikan tersebut dapat mecapai tujuan yang optimal. Bahkan dalam surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 26 tahun 1989 tentang angka kredit bagi jabatan guru dalam lingkungan Depdiknas, guru dituntut untuk senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya baik secara individu maupun secara bersama-sama. Lebih lanjut PP nomor 38 tahun 1992 tentang tenaga kependidikan, fasal 31 mengungkapkan bahwa : Tenaga kepndidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa. Sukadi (2006), Tugas dan Peran Guru, mempakan suatu proses yang meliputi : mendidik, mengajar, dan melatih peserta didik. Mendidik berarti menemskan dan mengembangkan nilai-nikai hidup (efektif). Mengajar berarti menemskan dan mengembangkan Ilmu pengetahuan dan teknologi (kognitif), Adapun melatih berarti mengembangkan keterampilan para siswa (psikomotor).
Ketiga tugas guru tersebut harus terintegrasi menjadi satu kesatuan dan tidak terpisah-pisah. Artinya, dalam melaksanakan tugas mengajar, seorang guru tidak bisa mengabaikan nilai-nilai kehidupan dan keterampilan. Mereka mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak mengesampingkan niali-nilai penggunaan Ilmu dan teknologi tersebut. Demikian pula dalam melatih para siswa, seorang guru tidak bisa mengabaikan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Untuk melaksanakan ketiga tugas pokok tersebut, seorang guru dituntut mempunyai beberapa kemampuan sebagai berikut :
1. Berwawasan luas, menguasasi bidang ilmunya, dan mampu mentransfer serta menerangkan kembali kepada siswa
2. Mempunyai sikap dan tingkah laku (kepribadian) yang patut diteladani sesuai dengan nilai-nilai kehidupan (values) yang dianut masyarakat dan bangsa
3. Memiliki keterampilan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya
Peningkatan kualitas guru menuju kemampuan profesional guru adalah merupakan perwujudan dari upaya .meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Guru merupakan sosok manusia yang diberi amanat untuk membimbing dan mengarahkan generasi bangsa yang akan datang. Guru yang berkualitas dalam kinerjanya akan dapat mencerminkan nasib bangsa dan negara yang akan datang. Hal ini dengan asumsi bahwa jabatan apapun atau pekerjaan apapun pasti melalui proses pendidikan dan orang yang melakukan proses tersebut pasti selalu beriringan dengan sosok guru, karena kualitas pembelajaran akan berjalan dengan balk apabila guru mampu melakukannya.
Fenomena di lapangan menunjukan bahwa masih terdapat anggapan bahwa untuk menjadi guru, yang penting memiliki kemauan persoalan kemampuan pada gilirannya akan mengikuti. Anggapan tersebut sudah barang tentu kurang kondusif bagi pembinaan profesionalisme guru dalam menjalankan tugas, peran dan fungsinya dalam menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang dikehendaki.
Ace Suryadi dari Balitbang Depdiknas yang dikutif oleh Usman (2001) menyatakan bahwa :
"Berbagai temuan penelitian menunjukan beberapa kekhawatiran jika guru-guru kita ternyata belum sepenuhnya menguasai kemampuan profesinya. Berdasarkan salah satu penelitian, penguasaan guru terhadap mata pelajaran memang masih berada di bawah standar yang diharapkan. Oleh karena itu maka tidaklah mengherankan jika guru belum dapat melaksanakan pekerjaannya secara profesional".
Sudah barang tentu guru yang masih Iemah kompetensi professionalnya akan sulit diharapkan tujuan pendidikan nasional akan tercapai. Sebagaimana tercantum dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Membicarakan perbaikan kurikulum, pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sampai kepada Kriteria sumberdaya manusia yang diinginkan oleh usaha pendidikan maka semua pasti bermuara pada kualitas guru (Muhibinsyah, 1995 : 224). Dengan demikian maka dapat ditarik benang merah betapa urgennya posisi guru dalam dunia pendidikan.
Peran guru dalam mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas posisinya sangat menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembelajaran. Sukmadinata (1988 : 212) mengemukakan bahwa :
"Official curriculum merupakan kurikulum nyata yang dilaksanakan oleh sekolah atau kelas, suatu "reality". Kurikulum nyata atau actual curriculum merupakan implementasi dari official curriculum oleh guru di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), tetapi hasilnya sangat bergantung pada upaya yang dilakukan oleh guru dan juga murid dalam kelas (actual). Dengan demikian guru memegang peranan penting baik di dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum".
Kurikulum dapat dipahami, tidak hanya dokumen tertulis akan tetapi sebagai sebuah rencana pelajaran didalam ruangan kelas, dalam hal ini Beauchamp (1968 : 6) mengungkapkan bahwa "a curriculum is written document wich may contain many ingredients, but basically it is a plan for education of pupils during their enrollment in given school". Dengan demikian implementasi kurikulum dapat dikembangkan oleh guru dalam ruangan kelas sesuai dengan keadaan dan kebutuhan siswa atau peserta belajar.
Dengan demikian kinerja profesional dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum , dalam hal ini merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum di kelas yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Sejalan dengan hal tersebut Johnson (1978) Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, suatu kompetensi ditunjukan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggung jawabkan (rasional) dalam upaya mencapai suatu tujuan.
Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
Kompetensi Pribadi, guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus di-gugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya :
a. Kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya.
b. Kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama.
c. Kemampuan untuk berprilaku sesuai dengan norma, antara dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat
d. Mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya, sopan santun dan tata krama
e. Bersifat demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.
Kompetensi Profesional, adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan yang sangat penting, oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu , tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi ini di antaranya :
a. Kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, tujuan instmksional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran
b. Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan misalnya, paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar, dan lain sebagainya.
c. Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya.
d. Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran
e. Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar.
f. Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
g. Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran.
h. Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya, paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
i. Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
Kompetensi Sosial Kemasyarakatan. Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, yang meliputi :
a. Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomonikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional.
b. Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan.
c. Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok
Guru sebagai pengembang kurikulum dalam tulisan ini dipahami dalam pengertian mikro, yaitu mengembangkan kurikulum dalam ruangan kelas. Sejalan dengan hal ini Kusnandar (2007 : 42-43), ada beberapa paradigma baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini adalah sebagai berikut :
1. Tidak terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memperdayakan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas datang, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangkan potensi diri secara maksimal
2. Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model Pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan motivasi belajar peserta didik. Guru harus menguasai berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan.
3. Dominasi guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar-mengajar
4. Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi
5. Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu prefesi yang menyenangkan 6. Guru mengikuti perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini
7. Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi
8. Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik.
Beberapa hal tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa pada dasarnya peranan guru dalam ruangan kelas adalah merupakan hubungan antar pribadi. Dalam hal ini pula menunjukan bahwa proses belajar mengajar bukan hanya sekedar kegiatan instruksional akan tetapi juga merupakan perilaku guru yang secara utuh diserap oleh siswa.
Dengan demikian, guru dituntut selalu inovatif, kreatif, dan mampu mengimplementasikan sepuluh standar kemampuan dasar dalam upaya menghantarkan tujuan pendidikan secara optimal. Salah satunya melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar dengan pola komoniakasi multi trafic (multi trafic communication). Dalam pola komunikasi multi trafic ini, komonikasi terjadi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.
Dengan pola komonikasi seperti ini, antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa lainnya terjadi pertukaran (sharing) pengetahuan dan pengalaman sehingga proses belajar mengajar lebih bermakna.
Untuk menciptakan pola semacam ini, guru harus memiliki beberapa keterampilan sebagai berikut :
- Memiliki keterampilan bertanya yang meliputi : pertanyaan menggiring, pertanyaan untuk merangsang siswa berfikir dan mengemukakan gagasan, pertanyaan mengarahkan, dan pertanyaan yang bersifat mengendalikan arus komunikasi.
- Memiliki keterampilan memberikan reward dan bentuk-bentuk penghargaan atas pendapat, gagasan, dan pertanyaan siswa.
- Terampil dan memilih dan mempergunakan metode dan media pembelajaran yang mendukung terjadinya pola komonikasi multi trafic.
- Memiliki keterampilan memilih dan menyampaikan permasalahan yang dapat merangsang siswa mau berpikir dan melibatkan emosi dalam pembelajaran
- Memahami dan mampu menerapkan pola pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dengan segenap metode dan media yang mendukungnya.
Selain dengan cara-cara tersebut, keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dapat dirangsang dengan cara sebagai berikut :
- Memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk mengemukakan ide, gagasan, pendapat, komentar, saran, dan kritik yang membangun.
- Menciptakan suasana belajar mengajar yang terbuka (fair) dalam batas-batas yang wajar dan etis.
- Memberikan penghargaan atas keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dengan cara memberikan nilai tambah.
- Membangun rasa percaya diri siswa dihadapan teman-temannya.
- Mengurangi dominasi guru dalam proses pembelajaran.
Berangkat dari pemikiran diatas, maka terdapat suatu perkembangan di MTsN X Kota X menyangkut kinerja professional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum. Hal ini mengingat tiga Tahun terakhir MTsN X mengalami peningkatan UAN yang sangat signifikan. Selain itu juga guru MTsN tersebut tidak mengandalkan kewajibannya sebagai pengajar tetapi juga selalu melakukan mengayaan atau proses pembelajaran tambahan (Less).
Mengingat begitu pentingnya peningkatan kompetensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum khususnya dalam dimensi kegiatan, maka hal inilah yang menjadi landasan berfikir penulis untuk melakukan penelitian tentang kompentensi profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Kinerja professional merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa guru adalah merupakan jabatan professional. Kinerja yang dimaksudkan disini adalah "performance yang berarti "the execution of an action". Wolf, (1997 : 851) dengan demikian kinerja di sini berarti pelaksanaan suatu kegiatan. Kinerja juga dapat diartikan sebagai penampilan kerja atau perilaku kerja yang mencerminkan hasil atau out put dari suatu proses
Pada dasarnya kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti; pendidik, terdidik, kurikulum dan lingkungan. Faktor faktor tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan tidak bisa berdiri sendiri. Namun demikian pada penelitian ini penulis membatasi diri pada faktor guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Dalam pandangan Sudjana (1989 : 1) guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungannya dengan pengembangan kurikulum di sekolah. Dia harus mampu menterjemahkan, menjabarkan dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada anak didik melalui proses belajar mengajar. Dengan demikian dalam mengimplementasikan kurikulum yang ada di sekolah hendaknya guru tidak hanya sekedar melakukan proses pengajaran akan tetapi harus berupaya mengorientasikan bagaimana membuat siswa belajar. Guru sebagai pengembang kurikulum dipahami sebagai seorang yang senantiasa menciptakan situasi kelas yang kondusif serta mengembangkan segala sarana dan fasilitas yang ada menjadi bahan ajar yang efektif efisien serta terus menerus melakukan inovasi dalam mengembangkan materi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa serta berupaya untuk melakukan metode pengajaran yang bervariasi, sehingga siswa tidak merasa jenuh mengikuti proses belajar mengajar.
Berangkat dari hal tersebut, maka inti permasalahan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana kinerja profesional Guru sebagai Pengembang kurikulum dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya ?
C. Pertanyan Penelitian
Berdasarkan inti permasalahan dalam penelitian, maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kinerja profesional guru dalam :
a. Perencanaan pembelajaran ?
b. Pelaksanaaan pembelajaran ?
c. Evaluasi pembelajaran ?
2. Apa saja yang mempengaruhi kinerja profesional guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum ?
3. Bagaimana hubungan kinerja guru dan hasil belajar siswa ?
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menemukan 2 manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat teoritis.
Guru profesional sudah terbentang dalam UU No. 14/2005 tentang Guru & Dosen. Pda Bab 1 pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama (pokok) mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan pada Bab 1 pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Guru profesional, adalah guru memegang peranan penting terhadap keberhasilan implementasi kurikulum KTSP, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksanakan kurikulum di dalam kelas. Gurulah gerda terdepan dalam implementasi kurikulum. Guru adalah kurikulum berjalan. Sebaik apa pun kurikulum dan sistim pendidikan yang ada, tanpa didukung mutu guru yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia. Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di bidang kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan peningkatan mutu guru, semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang dinginkan (Kusnandar, Kompas, 2 Oktober 2006)
Oleh karena itu, keberadaan guru yang profesional tidak bisa ditawar-tawar lagi. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dapat menunjang tugasnya. Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi soaial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (UU nomor 14 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 2).
Pandangan yang dikembangkan oleh Havighurst (peneliti Amerika serikat) dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yang dimaksud adalah tugas yang secara nyata harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sesuai dengan tingkat perkembangan yang dituntut oleh lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya anak/individu tersebut akan mengalami masalah. Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik dan beroperasi secara kumulatif dari yang sederhana menuju kearah yang lebih kompleks
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap perkembangan kurikulum pendidikan Indonesia. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaannya. Impilikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
- Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya
- Disamping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak disekolah, disediakan pula pelajaran-pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak
- Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak-anak yang berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi kejenjang pendidikan berikutnya
- Kurikulum menurut tujuanya mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
Teori Yang dikemukakan para ahli tokoh pendidikan ini diharapkan menjadi bahan kajian lebih lanjut dalam pengembangan kompetensi professional guru guna melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum yang pada gilirannya diharapkan dapat menuju pelaksanaan proses belajar mengajar yang optimal.
2. Manfaat praktis.
Setelah penelitian ini selesai diharapkan dapat memberikan sumbangan yang kongkrit bagi upaya peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan pada tingkat dasar, terutama kualitas guru dalam mengembangkan kurikulum di sekolah.
Secara spesifik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Kepala sekolah
Dengan mengungkapkan data empiris diharapkan kepala sekolah dapat membuat rencana dan strategi pengembangan sistem pendidikan yang sesuai dengan keadaan dan kemampuan lingkungan sekolahnya, baik yang menyangkut sistem rekruitmen guru maupun upaya berkelanjutan dalam memberdayakan dan meningkatkan kinerja guru.
b. Guru.
Guru yang merupakan ujung tombak dalam upaya menghantarkan tujuan pendidikan diharapkan selalu berupaya meningkatkan kualitas profesinya dengan terus melakukan introspeksi baik yang menyangkut kualitas teknis maupun kualitas sosial. Sehingga ferformance guru akan sesuai dengan tuntutan profesinya.
c. Siswa
Siswa yang merupakan subyek dan obyek pendidikan akan memperoleh pelayanan pembelajaran yang optimal. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika kinerja guru dapat dilaksanakan secara baik maka pelayanan kepada siswa pun akan menjadi baik.
d. Bagi Departemen Agama hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan bahan-bahan untuk kemudian dipertimbangkan dalam mengola dan mengambil kebijakan pendidikan khususnya yang berhubungan upaya meningkatkan profesionalisme guru
e. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan mungkin dapat dijadikan sebagai bahan literature pensinkronan masalah yang akan diteliti berkaitan dengan kinerja profesinal guru.
TESIS EFEKTIVITAS KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM SISWA (STUDI KASUS SMA X)
(KODE : PASCSARJ-0120) : TESIS EFEKTIVITAS KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM SISWA (STUDI KASUS SMA X) (PRODI : BIMBINGAN KONSELING)
Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan pelaporan penelitian membahas tentang latar belakang masalah yang menjadi titik tolak penelitian yaitu permasalahan self esteem pada siswa dan alasan peneliti menggunakan konseling Analisis Transaksional sebagai pendekatan untuk memperbaiki self esteem siswa. Selanjutnya bab ini juga membahas fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, asumsi, populasi, sampel, dan lokasi yang dipilih peneliti.
A. Latar Belakang Masalah
Self esteem diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan sebutan "harga diri", tetapi untuk menghindari pendangkalan makna, peneliti akan lebih sering menggunakan istilah "self esteem" dari pada istilah "harga diri", karena self esteem bukan sekedar membahas tentang sejauhmana takaran harga diri seorang manusia dihadapan manusia yang lain, tetapi maknanya lebih dalam dan lebih luas dari sebutan "harga diri", karena self esteem bermuara pada keyakinan dan mindset/po\a pikir, keyakinan seorang individu akan keberhargaan dirinya sehingga menimbulkan perasaan berharga dan layak untuk dihargai sebagai seorang pribadi. Dari keyakinan tentang keberhargaan dirinya, akan memunculkan perasaan berharga, kemudian akan bersikap dan berperilaku menuju keberhargaan yang diyakininya.
Seorang individu yang tampan/cantik, berprestasi, memiliki limpahan harta benda, berhasil menduduki jabatan yang prestisius, populer, dll, tidak serta merta dikatakan memiliki self esteem yang positif apabila individu tersebut melakukan atau mencapai semua itu dengan cara-cara yang tidak "fair". Keberhasilan atau kesuksesan seorang individu dalam sebuah pencapaian hidup hanya merupakan serpihan-serpihan kecil dari sebuah kerangka utuh bernama "self esteem ".
Terdapat dua kategori self esteem, yaitu self esteem positif (harga diri yang tinggi) dan self esteem negatif (harga diri yang rendah). Self esteem positif biasanya termanifestasikan pada saat individu mendapatkan penghargaan, menang dalam sebuah perlombaan, dapat memecahkan masalah yang rumit, berada pada posisi yang strategis secara sosial, memiliki kedudukan, mencapai puncak karir, memiliki kecantikan atau ketampanan, memiliki kekayaan atau kekuasaan, memiliki kemampuan dan keterampilan yang bisa dibanggakan. Intinya, individu akan merasa memiliki harga diri apabila mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Self esteem negatif biasanya muncul pada saat individu dihina dan direndahkan, hasil karya yang tidak diapresiasi oleh orang lain, menderita kebangkrutan, tidak mendapat pengakuan, dikucilkan dan ditolak secara sosial, memiliki cacat fisik, gagal dalam sebuah pencapaian, dan lain-lain. Secara umum Self esteem positif menguntungkan karena mengacu pada evaluasi diri, sedangkan Self esteem negatif menimbulkan perasaan negatif yang merugikan diri.
Remaja yang sedang dalam pencarian jati diri sering salah dalam memaknai harga diri dan mendapatkan porsi terbesar dari permasalahan yang diakibatkan oleh self esteem negatif. Untuk mendapatkan pengakuan sosial dari teman sebayanya, remaja sering terjebak dalam perilaku delinquency (kenakalan) yang malah menurunkan harga dirinya sendiri. Seperti menjadi pelacur karena ingin berpakaian bagus dan memiliki HP bam, mencontek untuk mendapatkan nilai bagus, merokok dan mencoba minuman keras karena khawatir dicap sebagai remaja yang tidak gaul, melakukan tindakan agresif untuk menunjukan otoritas dan eksistensi diri, seperti pemalakan dan tawuran.
Fenomena lain adanya remaja putri yang tergila-gila dengan penampilan dan menganggap dirinya berharga apabila memiliki tubuh langsing dan kulit putih, pada akhirnya melakukan berbagai macam cara demi untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal yang diimpikan, misalnya dengan melakukan diet ketat yang tidak sehat, mengkonsumsi obat pelangsing dan menggunakan kosmetika yang membahayakan dirinya. Sebagaimana hasil penelitian William, et al. (1993) yang menyimpulkan bahwa remaja yang memiliki self esteem negatif tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya. Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan Wadden (2002) yang menyebutkan remaja dengan self esstem negatif menderita penyakit kelainan makan, seperti bulimia dan anorexia.
Self esteem positif memainkan peranan yang penting dalam kehidupan individu. Tetapi yang perlu dicermati adalah self esteem negatif (harga diri yang rendah), karena akan menimbulkan kecemasan dan perasaan tidak nyaman. Fuller dalam risetnya (http : //mentalhealth.samsha.gov/publications/allpubs/sma-3715/things.asp) menyebutkan beberapa konsekuensi yang muncul akibat harga diri rendah (Low self esteem), yaitu : munculnya kecemasan (anxiety), mudah stress, merasa hampa dan kesepian, meningkatkan resiko depresi, mengalami permasalahan dalam relationship, disfungsi sexual. Herer & Holzapfel (1993), menggambarkan pengaruh self esteem negatif yang dapat merusak prestasi akademik dan karir, ketidaktercapaian, meningkatkan resiko terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol.
Individu yang memiliki gambaran self esteem negatif sering merasa bahwa dirinya tidak kompeten, tidak cantik/tampan dan tidak berarti, memiliki pandangan bahwa dirinya tidak layak untuk dicintai, tidak pintar, tidak sanggup melanjutkan hidup, merasa tertekan dan tidak berdaya, selalu berpikir gagal sebelum mencoba, mudah sekali putus asa dan menyerah. Hasil penelitian Roese dan Pennington (2002) menyimpulkan bahwa individu yang memiliki self esteem negatif sering menerima sikap diskriminatif dari orang yang ada di sekitarnya.
Sebaliknya individu yang memiliki gambaran self esteem positif, diyakini memiliki kehidupan yang lebih bahagia, kepribadian yang menarik, merasa diri lebih populer dan bangga dengan semua ketercapaian dalam hidupnya. Self esteem yang tinggi merupakan bagian dari ego yang sehat. Ego biasa didefinisikan sebagai identitas, individualitas, pusat kesadaran, jiwa atau diri. Dengan kata lain, harga diri diperlukan sebagai pertanda jiwa yang sehat. Individu yang memiliki self esteem positif percaya bahwa dalam dirinya terdapat nilai-nilai dan potensi yang unik lagi berharga. Memiliki keyakinan bahwa dirinya penting dan merupakan bagian dari kehidupan ini. Optimisme secara sederhana dipandang sebagai keterampilan kognitif untuk memberi makna baik atau buruk pada lingkungan, sedangkan self esteem merupakan cara individu memberi makna baik atau buruk pada dirinya. Hal ini akan menghasilkan daya gerak yang luar biasa yang mendorong manusia untuk mengusahakan yang terbaik, sehingga mampu mempersembahkan karya terbaik sepanjang hidupnya.
Self esteem juga berhubungan erat dengan faktor kepribadian dan faktor fsikologis dalam penyalahgunaan NAPZA (Shield, 1976; Jessor dan Jessor, 1977; Wienfield, dkk, 1989; Brook dan Brook, 1990; Hawaii, 1991). Faktor kepribadian ini dapat dibedakan menjadi aspek intrapersonal, interpersonal dan kognitif (Olson, dkk, dalam Brown&Lent,1992). Aspek intrapersonal yang diidentifikasi berperan penting dalam penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah rendahnya harga diri remaja (Gorsuch dan Butter, 1976 : Sield, 1976). Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa remaja dengan harga diri rendah merasa dirinya terasing, tertekan dan kurang memiliki keberanian untuk berbuat sesuatu. Mereka cenderung lebih cemas, mudah depresi, pesimis akan masa depannya dan mudah gagal. Selanjutnya remaja dengan ciri-ciri tersebut mudah mendapat pengaruh dari lingkungannya untuk mengkonsumsi NAPZA.
Remaja yang memiliki harga diri rendah memilih menggunakan NAPZA sebagai sarana untuk mengembalikan kestabilan emosinya, sehingga menimbulkan rasa aman pada diri mereka. Hal ini terbukti pada penelitian tes Skager dan Kerst (1989) menyimpulkan bahwa remaja yang menggunakan mariyuana merasakan perubahan positif pada harga dirinya. Demikian juga pada pemakai kokain merasa meningkat dalam keyakinan diri dan hubungan sosialnya ketika dalam keadaan memakai. Individu yang memiliki self esteem positif, umumnya merasa lebih bahagia, bebas dari simptom psikosomatis, sukses dan adaptif dalam situasi yang dapat menimbulkan stres (Brehm dan Kassin, 1990).
Sigal dan Gould (dalam Brehm dan Kassin, 1990) menggambarkan individu yang memiliki self esteem positif akan selalu termotivasi untuk berperilaku baik, termasuk tidak melibatkan diri dalam penyalahgunaan NAPZA karena memahami efek negatif zat tersebut yang dapat merusak kehidupannya.
Pentingnya pemenuhan kebutuhan harga diri individu, khususnya pada kalangan remaja, terkait erat dengan pengaruh dan dampak self esteem negatif. Karena remaja akan mengalami kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya, merasa inferior dan canggung. Namun apabila kebutuhan harga diri mereka dapat terpenuhi secara memadai, kemungkinan remaja akan memperoleh kesuksesan dalam lingkungan sosialnya, tampil dengan kayakinan diri (self-confidence) dan merasa dirinya memiliki nilai. (Jordan et. al. 1979).
Gambaran hasil riset yang telah disampaikan, menjelaskan tentang pentingnya penanganan atau bantuan pada siswa yang memiliki self esteem negatif. Sehingga diperlukan perhatian dan penanganan khusus dari tenaga pengajar, serta konselor. Penanganan yang ada tersebut harus mampu menetralisir berbagai penyebab self esteem negatif dan mengembangkannya menjadi self esteem positif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan Konseling Analisis Transaksional. Sebagai salah satu teknik psikoterapi dalam konseling.
Analisis Transaksional merupakan satu pendekatan psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. Analisis transaksional dapat dipergunakan dalam konseling individual, tetapi lebih diutamakan untuk konseling kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian, tujuan dan arah proses konseling dikembangkan sendiri oleh konseli, dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru untuk kemajuan hidupnya sendiri. Gringkers mengemukakan pandangannya bahwa hakikat hidup manusia selalu ditempatkan dalam interaksi dan interrelasi sebagai dasar bagi pertumbuhan dirinya.
Analisis Transaksional digunakan untuk menganalisis atau menemukan pola mana saja yang berperan dalam sulit atau mudahnya proses transaksi/komunikasi. Analisis transaksional mengikuti teori psikoanalisis Sigmund Freud dan penemuan kerja otak dari Broca dan W. Penfield antara aktivitas otak dan perilaku manusia. Menurut Penfield, otak manusia sejak bayi sudah mampu merekam berjuta-juta pengalaman tentang perasaan, pandangan, sikap, perilaku, dan lain-lain. Pengalaman yang tertanam sejak bayi hingga dewasa ini untuk selanjutnya disebut sebagai egostate.
Berne mengelompokkan rekaman pengalaman tersebut menjadi kelompok pesan-pesan norma Orang Tua (egostate Orang Tua) dan kelompok reaksi perasaan Anak (egostate Anak). Kedua egostate tersebut dalam keseharian berebut untuk tampil dalam proses komunikasi. Sulit untuk melepaskan diri sepenuhnya dari kedua egostate tersebut, apalagi egostate tersebut sebenarnya adalah rekaman perbendaharaan mengenai berbagai cara yang individu lakukan dalam menghadapi/menyelesaikan masalah, entah itu berhasil atau tidak. Berne menawarkan alternatif cara untuk menyadari egostate tersebut untuk mengontrol dan mengendalikannya sepenuhnya. Egostate tersebut adalah egostate dewasa. Individu yang sehat adalah mereka yang mampu menggunakan egostatenya sesuai dengan situasi dan kondisi, yaitu ketika egostate dewasa dalam posisi dominan sehingga mampu memilih egostate mana yang sesuai dengan situasi tertentu. Egostate orang tua adalah bahasa tentang nilai-nilai, egostate dewasa adalah bahasa logika dan rasionalitas, sedangkan egostate anak adalah bahasa emosi.
Terdapat beberapa alasan, kenapa konseling analisis transaksional dipilih oleh penulis sebagai salah satu pendekatan untuk memperbaiki self esteem.
1. Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan, melainkan merupakan serangkaian putusan dan pilihan.
2. Analisis Transaksional menekankan aspek-aspek kognitif rasioanl behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya yang keliru.
3. Analisis Transaksional merupakan terapi kontraktual dan desisional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh konseli yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi.
4. Analisis Transaksional fokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh konseli dan menekankan kemampuan konseli untuk membuat putusan-putusan baru yang lebih sesuai.
5. Analisis Transaksional memandang bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
6. Analisis Transaksional merupakan metode rasional yang dapat menganalisis dan memahami pikiran, perasaan, dan perilaku orang, dengan berbasiskan teori psikologis yang mudah dipahami.
7. Analisis Transaksional merupakan teknik konseling yang berkaitan dengan beragam budaya dan merupakan teknik konseling yang efektif, psikologi informasi dan psikiatri berbasis komunikasi manusia. Sehingga transaksi antarpribadi yang kompleks dapat dengan mudah dipahami.
8. Analisis Transaksional merupakan psikologi sosial dan metode komunikasi.
Teori yang menguraikan bagaimana cara mengembangkan dan memperlakukan diri sendiri, bagaimana berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, menawarkan saran dan intervensi yang memungkinkan individu untuk berubah dan berkembang.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini diarahkan untuk mengungkapkan permasalahan self esteem siswa dan melakukan pengkajian secara lebih mendalam dan menyeluruh terhadap efektivitas layanan konseling di sekolah menggunakan pendekatan konseling Analisis Transaksional. Dari penelitian ini diharapkan dapat tersusunnya suatu model pendekatan konseling Analisis Transaksional terhadap siswa yang memiliki permasalahan self esteem. Dari penelitian ini diharapkan siswa dapat mengenali kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, memandang dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan layak untuk disejajarkan dengan orang lain.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang dan fokus masalah, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Seperti apa gambaran self esteem pada siswa SMAN X Kabupaten X?
2. Apa yang menjadi latar belakang munculnya permasalahan self esteem pada siswa SMAN X Kabupaten X?
3. Apakah konseling Analisis Transaksional dapat memperbaiki self esteem siswa SMAN X Kabupaten X?
D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model konseling untuk meningkatkan self esteem siswa melalui pendekatan konseling Analisis Transaksional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memperoleh gambaran secara umum tentang self esteem siswa SMAN X Kabupaten X.
2. Memperoleh data emprik tentang penyebab atau latar belakang siswa yang memiliki permasalahan self esteem negatif di SMAN X Kabupaten X.
3. Menguji efektivitas konseling Analisis Transaksional terhadap siswa SMAN X yang memiliki permasalahan self esteem.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada siswa mengenai self esteem positif. Sehingga siswa dapat mengenal lebih dalam tentang dirinya, memiliki gambaran bagaimana seharusnya memberi penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan pribadi dan dapat mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.
2. Bagi sekolah
Bagi sekolah penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atau jalan keluar dalam upaya mengembangkan potensi dan memandirikan siswa
3. Bagi guru Bimbingan dan Konseling dan pihak lainnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada guru Bimbingan dan Konseling tentang permasalah self esteem yang dialami siswa di SMAN X Kabupaten X. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu strategi bagi guru Bimbingan dan Konseling di SMAN X Kabupaten X dalam memberikan layanan konseling terutama dalam meningkatkan self esteem negatif menjadi self esteem positif.
4. Bagi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan (alternatif pemecahan masalah) bagi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten X sebagai pengambil kebijakan dalam upaya membantu siswa berkembang dengan kondisi kejiwaan yang sehat di Sekolah Menegah Atas.
5. Bagi akademisi dan para peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi serta kajian bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
F. Asumsi Penelitian
1. Self esteem diyakini menjadi akar masalah disfungsi sosial individu dan merupakan aspek kepribadian yang paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta penentuan tujuan hidup. (Nathaniel Branden, 1994 : 5-12).
2. Self esteem sebagai variabel independen yang kuat (kondisi, penyebab, faktor) dalam asal-usul masalah utama sosial. (Smelser, 1989)
3. Self esteem negatif dapat menimbulkan kecemasan (anxiety), mudah stress, merasa hampa dan kesepian, meningkatkan resiko depresi, mengalami permasalahan dalam relationship, dan disfungsi sexual. (Fuller, http://mentalhealth.samsha.gov/publications/allpubs/sma-3715/things.asp).
4. Konseling Analisis Transaksional dipandang sebagai salah satu pendekatan yang cocok untuk memperbaiki self esteem, karena menekankan aspek-aspek kognitif rasioanal behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya yang lebih sesuai. (Gerald Corey, 2009).
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan pelaporan penelitian membahas tentang latar belakang masalah yang menjadi titik tolak penelitian yaitu permasalahan self esteem pada siswa dan alasan peneliti menggunakan konseling Analisis Transaksional sebagai pendekatan untuk memperbaiki self esteem siswa. Selanjutnya bab ini juga membahas fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, asumsi, populasi, sampel, dan lokasi yang dipilih peneliti.
A. Latar Belakang Masalah
Self esteem diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan sebutan "harga diri", tetapi untuk menghindari pendangkalan makna, peneliti akan lebih sering menggunakan istilah "self esteem" dari pada istilah "harga diri", karena self esteem bukan sekedar membahas tentang sejauhmana takaran harga diri seorang manusia dihadapan manusia yang lain, tetapi maknanya lebih dalam dan lebih luas dari sebutan "harga diri", karena self esteem bermuara pada keyakinan dan mindset/po\a pikir, keyakinan seorang individu akan keberhargaan dirinya sehingga menimbulkan perasaan berharga dan layak untuk dihargai sebagai seorang pribadi. Dari keyakinan tentang keberhargaan dirinya, akan memunculkan perasaan berharga, kemudian akan bersikap dan berperilaku menuju keberhargaan yang diyakininya.
Seorang individu yang tampan/cantik, berprestasi, memiliki limpahan harta benda, berhasil menduduki jabatan yang prestisius, populer, dll, tidak serta merta dikatakan memiliki self esteem yang positif apabila individu tersebut melakukan atau mencapai semua itu dengan cara-cara yang tidak "fair". Keberhasilan atau kesuksesan seorang individu dalam sebuah pencapaian hidup hanya merupakan serpihan-serpihan kecil dari sebuah kerangka utuh bernama "self esteem ".
Terdapat dua kategori self esteem, yaitu self esteem positif (harga diri yang tinggi) dan self esteem negatif (harga diri yang rendah). Self esteem positif biasanya termanifestasikan pada saat individu mendapatkan penghargaan, menang dalam sebuah perlombaan, dapat memecahkan masalah yang rumit, berada pada posisi yang strategis secara sosial, memiliki kedudukan, mencapai puncak karir, memiliki kecantikan atau ketampanan, memiliki kekayaan atau kekuasaan, memiliki kemampuan dan keterampilan yang bisa dibanggakan. Intinya, individu akan merasa memiliki harga diri apabila mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Self esteem negatif biasanya muncul pada saat individu dihina dan direndahkan, hasil karya yang tidak diapresiasi oleh orang lain, menderita kebangkrutan, tidak mendapat pengakuan, dikucilkan dan ditolak secara sosial, memiliki cacat fisik, gagal dalam sebuah pencapaian, dan lain-lain. Secara umum Self esteem positif menguntungkan karena mengacu pada evaluasi diri, sedangkan Self esteem negatif menimbulkan perasaan negatif yang merugikan diri.
Remaja yang sedang dalam pencarian jati diri sering salah dalam memaknai harga diri dan mendapatkan porsi terbesar dari permasalahan yang diakibatkan oleh self esteem negatif. Untuk mendapatkan pengakuan sosial dari teman sebayanya, remaja sering terjebak dalam perilaku delinquency (kenakalan) yang malah menurunkan harga dirinya sendiri. Seperti menjadi pelacur karena ingin berpakaian bagus dan memiliki HP bam, mencontek untuk mendapatkan nilai bagus, merokok dan mencoba minuman keras karena khawatir dicap sebagai remaja yang tidak gaul, melakukan tindakan agresif untuk menunjukan otoritas dan eksistensi diri, seperti pemalakan dan tawuran.
Fenomena lain adanya remaja putri yang tergila-gila dengan penampilan dan menganggap dirinya berharga apabila memiliki tubuh langsing dan kulit putih, pada akhirnya melakukan berbagai macam cara demi untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal yang diimpikan, misalnya dengan melakukan diet ketat yang tidak sehat, mengkonsumsi obat pelangsing dan menggunakan kosmetika yang membahayakan dirinya. Sebagaimana hasil penelitian William, et al. (1993) yang menyimpulkan bahwa remaja yang memiliki self esteem negatif tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya. Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan Wadden (2002) yang menyebutkan remaja dengan self esstem negatif menderita penyakit kelainan makan, seperti bulimia dan anorexia.
Self esteem positif memainkan peranan yang penting dalam kehidupan individu. Tetapi yang perlu dicermati adalah self esteem negatif (harga diri yang rendah), karena akan menimbulkan kecemasan dan perasaan tidak nyaman. Fuller dalam risetnya (http : //mentalhealth.samsha.gov/publications/allpubs/sma-3715/things.asp) menyebutkan beberapa konsekuensi yang muncul akibat harga diri rendah (Low self esteem), yaitu : munculnya kecemasan (anxiety), mudah stress, merasa hampa dan kesepian, meningkatkan resiko depresi, mengalami permasalahan dalam relationship, disfungsi sexual. Herer & Holzapfel (1993), menggambarkan pengaruh self esteem negatif yang dapat merusak prestasi akademik dan karir, ketidaktercapaian, meningkatkan resiko terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol.
Individu yang memiliki gambaran self esteem negatif sering merasa bahwa dirinya tidak kompeten, tidak cantik/tampan dan tidak berarti, memiliki pandangan bahwa dirinya tidak layak untuk dicintai, tidak pintar, tidak sanggup melanjutkan hidup, merasa tertekan dan tidak berdaya, selalu berpikir gagal sebelum mencoba, mudah sekali putus asa dan menyerah. Hasil penelitian Roese dan Pennington (2002) menyimpulkan bahwa individu yang memiliki self esteem negatif sering menerima sikap diskriminatif dari orang yang ada di sekitarnya.
Sebaliknya individu yang memiliki gambaran self esteem positif, diyakini memiliki kehidupan yang lebih bahagia, kepribadian yang menarik, merasa diri lebih populer dan bangga dengan semua ketercapaian dalam hidupnya. Self esteem yang tinggi merupakan bagian dari ego yang sehat. Ego biasa didefinisikan sebagai identitas, individualitas, pusat kesadaran, jiwa atau diri. Dengan kata lain, harga diri diperlukan sebagai pertanda jiwa yang sehat. Individu yang memiliki self esteem positif percaya bahwa dalam dirinya terdapat nilai-nilai dan potensi yang unik lagi berharga. Memiliki keyakinan bahwa dirinya penting dan merupakan bagian dari kehidupan ini. Optimisme secara sederhana dipandang sebagai keterampilan kognitif untuk memberi makna baik atau buruk pada lingkungan, sedangkan self esteem merupakan cara individu memberi makna baik atau buruk pada dirinya. Hal ini akan menghasilkan daya gerak yang luar biasa yang mendorong manusia untuk mengusahakan yang terbaik, sehingga mampu mempersembahkan karya terbaik sepanjang hidupnya.
Self esteem juga berhubungan erat dengan faktor kepribadian dan faktor fsikologis dalam penyalahgunaan NAPZA (Shield, 1976; Jessor dan Jessor, 1977; Wienfield, dkk, 1989; Brook dan Brook, 1990; Hawaii, 1991). Faktor kepribadian ini dapat dibedakan menjadi aspek intrapersonal, interpersonal dan kognitif (Olson, dkk, dalam Brown&Lent,1992). Aspek intrapersonal yang diidentifikasi berperan penting dalam penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah rendahnya harga diri remaja (Gorsuch dan Butter, 1976 : Sield, 1976). Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa remaja dengan harga diri rendah merasa dirinya terasing, tertekan dan kurang memiliki keberanian untuk berbuat sesuatu. Mereka cenderung lebih cemas, mudah depresi, pesimis akan masa depannya dan mudah gagal. Selanjutnya remaja dengan ciri-ciri tersebut mudah mendapat pengaruh dari lingkungannya untuk mengkonsumsi NAPZA.
Remaja yang memiliki harga diri rendah memilih menggunakan NAPZA sebagai sarana untuk mengembalikan kestabilan emosinya, sehingga menimbulkan rasa aman pada diri mereka. Hal ini terbukti pada penelitian tes Skager dan Kerst (1989) menyimpulkan bahwa remaja yang menggunakan mariyuana merasakan perubahan positif pada harga dirinya. Demikian juga pada pemakai kokain merasa meningkat dalam keyakinan diri dan hubungan sosialnya ketika dalam keadaan memakai. Individu yang memiliki self esteem positif, umumnya merasa lebih bahagia, bebas dari simptom psikosomatis, sukses dan adaptif dalam situasi yang dapat menimbulkan stres (Brehm dan Kassin, 1990).
Sigal dan Gould (dalam Brehm dan Kassin, 1990) menggambarkan individu yang memiliki self esteem positif akan selalu termotivasi untuk berperilaku baik, termasuk tidak melibatkan diri dalam penyalahgunaan NAPZA karena memahami efek negatif zat tersebut yang dapat merusak kehidupannya.
Pentingnya pemenuhan kebutuhan harga diri individu, khususnya pada kalangan remaja, terkait erat dengan pengaruh dan dampak self esteem negatif. Karena remaja akan mengalami kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya, merasa inferior dan canggung. Namun apabila kebutuhan harga diri mereka dapat terpenuhi secara memadai, kemungkinan remaja akan memperoleh kesuksesan dalam lingkungan sosialnya, tampil dengan kayakinan diri (self-confidence) dan merasa dirinya memiliki nilai. (Jordan et. al. 1979).
Gambaran hasil riset yang telah disampaikan, menjelaskan tentang pentingnya penanganan atau bantuan pada siswa yang memiliki self esteem negatif. Sehingga diperlukan perhatian dan penanganan khusus dari tenaga pengajar, serta konselor. Penanganan yang ada tersebut harus mampu menetralisir berbagai penyebab self esteem negatif dan mengembangkannya menjadi self esteem positif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan Konseling Analisis Transaksional. Sebagai salah satu teknik psikoterapi dalam konseling.
Analisis Transaksional merupakan satu pendekatan psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. Analisis transaksional dapat dipergunakan dalam konseling individual, tetapi lebih diutamakan untuk konseling kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian, tujuan dan arah proses konseling dikembangkan sendiri oleh konseli, dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru untuk kemajuan hidupnya sendiri. Gringkers mengemukakan pandangannya bahwa hakikat hidup manusia selalu ditempatkan dalam interaksi dan interrelasi sebagai dasar bagi pertumbuhan dirinya.
Analisis Transaksional digunakan untuk menganalisis atau menemukan pola mana saja yang berperan dalam sulit atau mudahnya proses transaksi/komunikasi. Analisis transaksional mengikuti teori psikoanalisis Sigmund Freud dan penemuan kerja otak dari Broca dan W. Penfield antara aktivitas otak dan perilaku manusia. Menurut Penfield, otak manusia sejak bayi sudah mampu merekam berjuta-juta pengalaman tentang perasaan, pandangan, sikap, perilaku, dan lain-lain. Pengalaman yang tertanam sejak bayi hingga dewasa ini untuk selanjutnya disebut sebagai egostate.
Berne mengelompokkan rekaman pengalaman tersebut menjadi kelompok pesan-pesan norma Orang Tua (egostate Orang Tua) dan kelompok reaksi perasaan Anak (egostate Anak). Kedua egostate tersebut dalam keseharian berebut untuk tampil dalam proses komunikasi. Sulit untuk melepaskan diri sepenuhnya dari kedua egostate tersebut, apalagi egostate tersebut sebenarnya adalah rekaman perbendaharaan mengenai berbagai cara yang individu lakukan dalam menghadapi/menyelesaikan masalah, entah itu berhasil atau tidak. Berne menawarkan alternatif cara untuk menyadari egostate tersebut untuk mengontrol dan mengendalikannya sepenuhnya. Egostate tersebut adalah egostate dewasa. Individu yang sehat adalah mereka yang mampu menggunakan egostatenya sesuai dengan situasi dan kondisi, yaitu ketika egostate dewasa dalam posisi dominan sehingga mampu memilih egostate mana yang sesuai dengan situasi tertentu. Egostate orang tua adalah bahasa tentang nilai-nilai, egostate dewasa adalah bahasa logika dan rasionalitas, sedangkan egostate anak adalah bahasa emosi.
Terdapat beberapa alasan, kenapa konseling analisis transaksional dipilih oleh penulis sebagai salah satu pendekatan untuk memperbaiki self esteem.
1. Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan, melainkan merupakan serangkaian putusan dan pilihan.
2. Analisis Transaksional menekankan aspek-aspek kognitif rasioanl behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya yang keliru.
3. Analisis Transaksional merupakan terapi kontraktual dan desisional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh konseli yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi.
4. Analisis Transaksional fokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh konseli dan menekankan kemampuan konseli untuk membuat putusan-putusan baru yang lebih sesuai.
5. Analisis Transaksional memandang bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
6. Analisis Transaksional merupakan metode rasional yang dapat menganalisis dan memahami pikiran, perasaan, dan perilaku orang, dengan berbasiskan teori psikologis yang mudah dipahami.
7. Analisis Transaksional merupakan teknik konseling yang berkaitan dengan beragam budaya dan merupakan teknik konseling yang efektif, psikologi informasi dan psikiatri berbasis komunikasi manusia. Sehingga transaksi antarpribadi yang kompleks dapat dengan mudah dipahami.
8. Analisis Transaksional merupakan psikologi sosial dan metode komunikasi.
Teori yang menguraikan bagaimana cara mengembangkan dan memperlakukan diri sendiri, bagaimana berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, menawarkan saran dan intervensi yang memungkinkan individu untuk berubah dan berkembang.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini diarahkan untuk mengungkapkan permasalahan self esteem siswa dan melakukan pengkajian secara lebih mendalam dan menyeluruh terhadap efektivitas layanan konseling di sekolah menggunakan pendekatan konseling Analisis Transaksional. Dari penelitian ini diharapkan dapat tersusunnya suatu model pendekatan konseling Analisis Transaksional terhadap siswa yang memiliki permasalahan self esteem. Dari penelitian ini diharapkan siswa dapat mengenali kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, memandang dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan layak untuk disejajarkan dengan orang lain.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang dan fokus masalah, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Seperti apa gambaran self esteem pada siswa SMAN X Kabupaten X?
2. Apa yang menjadi latar belakang munculnya permasalahan self esteem pada siswa SMAN X Kabupaten X?
3. Apakah konseling Analisis Transaksional dapat memperbaiki self esteem siswa SMAN X Kabupaten X?
D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model konseling untuk meningkatkan self esteem siswa melalui pendekatan konseling Analisis Transaksional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memperoleh gambaran secara umum tentang self esteem siswa SMAN X Kabupaten X.
2. Memperoleh data emprik tentang penyebab atau latar belakang siswa yang memiliki permasalahan self esteem negatif di SMAN X Kabupaten X.
3. Menguji efektivitas konseling Analisis Transaksional terhadap siswa SMAN X yang memiliki permasalahan self esteem.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada siswa mengenai self esteem positif. Sehingga siswa dapat mengenal lebih dalam tentang dirinya, memiliki gambaran bagaimana seharusnya memberi penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan pribadi dan dapat mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.
2. Bagi sekolah
Bagi sekolah penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atau jalan keluar dalam upaya mengembangkan potensi dan memandirikan siswa
3. Bagi guru Bimbingan dan Konseling dan pihak lainnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada guru Bimbingan dan Konseling tentang permasalah self esteem yang dialami siswa di SMAN X Kabupaten X. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu strategi bagi guru Bimbingan dan Konseling di SMAN X Kabupaten X dalam memberikan layanan konseling terutama dalam meningkatkan self esteem negatif menjadi self esteem positif.
4. Bagi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan (alternatif pemecahan masalah) bagi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten X sebagai pengambil kebijakan dalam upaya membantu siswa berkembang dengan kondisi kejiwaan yang sehat di Sekolah Menegah Atas.
5. Bagi akademisi dan para peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi serta kajian bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
F. Asumsi Penelitian
1. Self esteem diyakini menjadi akar masalah disfungsi sosial individu dan merupakan aspek kepribadian yang paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta penentuan tujuan hidup. (Nathaniel Branden, 1994 : 5-12).
2. Self esteem sebagai variabel independen yang kuat (kondisi, penyebab, faktor) dalam asal-usul masalah utama sosial. (Smelser, 1989)
3. Self esteem negatif dapat menimbulkan kecemasan (anxiety), mudah stress, merasa hampa dan kesepian, meningkatkan resiko depresi, mengalami permasalahan dalam relationship, dan disfungsi sexual. (Fuller, http://mentalhealth.samsha.gov/publications/allpubs/sma-3715/things.asp).
4. Konseling Analisis Transaksional dipandang sebagai salah satu pendekatan yang cocok untuk memperbaiki self esteem, karena menekankan aspek-aspek kognitif rasioanal behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya yang lebih sesuai. (Gerald Corey, 2009).